Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan Dan Kemanusiaan
Sebuah Refleksi Sejarah
Oleh Ahmad Syafii Maarif


Abstraksi

Islam adalah agama yang mengajarkan kemanusiaan, keadilan yang beradab. Ajaran tersebut dirangkum Al-Quran, Hadits, Rukun Islam, Rukun Iman dan Syariat. Wahyu Allah kepada Muhammad diaplikasi sesuai sifat-Nya yang adil. Oleh karena itu, Islam tidak terpisah dari konsep kenegaraannya dalam keadilan dan perikemanusiaan. Hemat Ahmad Maarif dalam perspektif sejarah, Islam harus dapat menempatkan diri dalam tataran kenegaraan, tetapi juga secara utuh mempertahankan doktrin pokok seperti tauhid, iman dan amal. Sehingga konsep universalitas Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan tidak akan mempertentangkan hubungan antar agama dalam tataran praksis kenegaraan, tetapi berusaha mencari jalan ke luar atas masalah-masalah bangsa. Tentu hal tersebut hanya dapat dipahami sesuai peta sosiologis dan sejarah.

Kata kunci: Islam, keadilan, kemanusiaan dan keindonesiaan.

Ringkasan

Ahmad Maarif berefleksi tentang kondisi Negara Indonesia. Menurutnya, kurangnya kepekaan umat Islam terhadap tanggung jawab moral umat, bahkan eronisnya semakin menurun, serta memudarnya wibawa dan pengaruh ideologi politik. Sehingga menyebabkan kurang pemikiran tentang tema Islam dalam keindonesiaan guna membangun kemerdekaan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Berdasarkan latar belakang di atas, Ahmad Maarif memaparkan kondisi umat Islam di Indonesia yang masih terikat dengan permasalahan kebudayaan, serta penafsiran sejarah Islam yang salah. Misalnya penafsiran ajaran Jihad, salah satu rukun Islam yang mengajarkan umat untuk bekerja keras mencapai kemerdekaan atas umat dan bangsa lain. Jihad dipahami sebagai usaha perang demi nama Tuhan (pada abad ke 7, ketika invasi Muhammad ke daerah-daerah Arab) dan dianggap relevan untuk saat kini. Selanjutnya, penafsiran demokrasi dan hak asasi manusia sebagai sistem barat, sehingga harus dilawan karena merusak Islam (Ahmad Maarif: 2009, 155). Seraya penafsiran yang salah, ketidakseimbangan kuantitas dan kualitas umat berdampak pada kebudayaan politik yang menindas. Korupsi berkembang pesat di Indonesia. Sifat tersebut menutup sikap Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan Negara. Ahmad Maarif membanding sejarah perjumpaan kebudayaan primitif di Indonesia yang dianut oleh kerajaan-kerajaan (Ahmad Maarif: 2009, 46). Pendekatan Islam selain perdagangan ditampilkan dengan sikap toleransi, dalam usaha penyebaran bahasa Arab dan ajaran Islam.

Sementara itu, sikap tertutup tersebut juga melahirkan agama sebagai hukum legal yang mendukung tindak kriminal, seperti perusakan tempat-tempat ibadah dan mengabaikan agama sebagai pegangan dan pedoman hidup harian. Padahal hubungan Islam dengan agama yang lain adalah agama yang terbuka terhadap kebudayaan. Seperti konteks (lingkungan) Nabi Muhammad dari suku Quraisy yang ganas, panas dan bersifat urban. Sehingga memungkinkan terjadinya ketidakadilan dan diskriminasi antar tuan dan budak, pemimpin agama dan pemimpin daerah. Tetapi Islam lahir dengan ajaran kasih, adil dan berperikmanusiaan. Selanjutnya periode di Madinah pada tahun 622-632, Islam berkembang di lingkungan kota dagang. Sehingga memungkinkan terjadinya persaingan politik dagang yang tidak etis. Tetapi Islam membawa pembaharuan dengan hukum ekonomi untuk bersaing secara etis. Hemat Ahmad Maarif, bahwa Islam adalah agama yang memiliki ciri yang berdampingan dengan Negara Indonesia yakni menekankan nalai-nilai kemanusiaan. Seperti Bung Hatta yang disebut Godfather, adalah contoh pemikir Islam yang berusaha menjaga keutuhan dan persatuan bangsa sesuai ajaran Islam.

Keindonesiaan menurut Ahmad Maarif adalah keterbukaan untuk mengakui serta mengakui keberadaan orang lain termasuk eksistensinya. Dengan keterbukaan berarti adanya teloransi antar umat beragama. Dalam pengertian setiap manusia berhak mendapat hak dan kewajiban yang bertanggungjawab. Hak setiap orang memeluk suatu agama dan wajib untuk mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga gambaran manusia, cahaya Allah menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu, ketika seseorang menjadi pemimpin suatu kelompok dapat mengajarkan kebenaran yang universal. Dengan demikian, kepemimpinan tersebut akan dapat menekan penyimpangan dan kejahatan moral yang mengatas namakan Tuhan (Ahmad Maarif: 2009, 28). Itu adalah bentuk ibadah suci, ibadah yang mengajarakan kemanusiaan dan beragama secara beradab.

Selanjutnya pemahaman Ahmad Maarif, bahwa manusia yang beradab harus dapat menempatkan diri pada kebenaran Al-Quran. Kemanusiaan di sini diartikan berperan aktif dalam pembangunan bangsa sebagaimana perintah Allah. Seperti pemahaman Salim bahwa kecintaan nasionalisme tidak berarti menghambakan negara. Hal ini berbeda dengan pandangan Sukarno yang mengutip Mahatma Gandhi, “My nationalism is humanity”. Walaupun pandangan Salim dan Sukarno berbeda perspektif, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni cinta bangsa dan tanah air (Ahmad Maarif: 2009, 31).

Analisis Kritis

Menurut penulis, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan adalah pemikiran Ahmad Maarif yang memandang Islam dari perspektif pluralisme. Walaupun Islam adalah agama yang missioner, tetapi umat Islam juga perlu belajar dari agama lain dengan sejarah keberadaannya. Keberadaan di sini diartikan sejarah Islam pada periode Madinah dan periode ekspansi di Indonesia.

Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Akan tetapi, ketidaksinambungan sejarah dan perkembangannya telah mengalami pergeseran yang seyogyanya membawa Islam dikenal dengan terorisme. Seperti pemaparan Ahmad Maarif, bahwa Islam di Indonesia telah menjadi penghalang keutuhan negara Indonesia. Bahkan secara umum menjadi momok ke arah yang menghancurkan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan yang beradab. Menurut penulis, pendekatan Islam historis yang digunakan Ahmad Maarif mengacu pada keberadaan Islam sejak kemunculannya, interaksi kebudayaan sampai ekspansi yang ditunjai kembali pada kebenaran Islam Qur’anis (dalam Farinia Fianto, dkk (eds): 2008, 10-11).

Terlepas dari pemahaman di atas, peran Islam dalam pembangunan tampak buram. Di mana kuantitas umat yang mendominasi, tidak disertai kualitas umat itu sendiri. Hemat Ahmad Maarif, perlunya pengadaan program pendidikan guna mencapai keseimbangan dalam beriman dalam bingkai kenegaraan yang berkemanusiaan. Ketika seseorang memahami iman alangkah baiknya dapat diaplikasi dalam konteks yang tepat. Oleh karena itu, Islam yang semula dikenal akrab dengan kebudayaan dan masyarakat dapat diejahwantah dalam konteks kekinian. Tidak berarti mengabaikan nilai-nilai spiritual, tetapi memahami konsep spiritualitas yang luas. Penerimaan dan pengakuan orang lain yang dilandasi kejujuran yang luhur adalah bentuk kemanusiaan yang hakiki.

Kemanusiaan dalam Islam adalah salah satu aspek spiritual yang mendasar. Maka seperti pemikiran Ahmad Maarif, tidak sepantasnya umat mempertanyakan agama siapa yang benar, tetapi bagaimana membangun kenegaraan yang beradab sesuai sifat keindonesiaan yang berperikemanusiaan dalam konteks masyarakat yang pluratlis. M.Syafi’i Anwar dalam kata pengantar mengatakan,

Keadaan umat Islam saat ini dalam menjawab tantangan global patut diamati secara kritis yakni dengan memperjuangkan gagasan spiritual dan politik berdasarkan ide bahwa nilai Islam bersifat universal dan tidak hanya setuju kepada umat Islam sendiri, tetapi bermanfaat bagi seluruh alam semesta. Selain itu Islam juga harus dianggap sebuah kumpulan nilai etis yang bersifat universal yang mampu meningkatkan kemampuan seluruh manusia untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan modern, terkait masalah sosio-politik, budaya dan peradaban kontemporer” (dalam Farinia Fianto, dkk (eds) : 2008, viii-ix).

Sesuai pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa Islam perlu terbuka terhadap modernitas, perkembangan global, serta siap menentang ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi Hak Asasi Manusia. Senada pemikiran Lily Zkiyah Munir, “Islam adalah sumber etika dan moral, bukan kekuatan politik”. Islam adalah agama yang mengajarkan bagaimana umat beriman, bermasyarakat dan bernegara (dalam Farinia Fianto, dkk (eds): 2008, 69). Oleh karena itu, Islam yang dipaparkan Ahmad Maarif dalam bingkai keindonesiaan adalah Islam yang saling menghormati, saling bahu membahu membangun bangsa yang beradab. Ajaran tersebut jelas ditulis dalam Al-Quran dan Hadits. Seperti surat Al-Baqarah ayat 256, bahwa

Oleh karena itu, sepakat dengan Lily Zkitah Munir, “asal usul agama Islam adalah berasal dari Allah dan ditujukan untuk kemanusiaan, ada dimensi transenden dan sosial di dalamnya” (dalam Farinia Fianto, dkk (eds): 2008,70).

Dalam pemahaman penulis, bahwa konteks masyarakat Indonesia adalah bersifat pluralis. Indonesia terdiri dari berbagai suku, etnis dan agama bahkan sub-sub kebudayaan. Walaupun Islam adalah agama yang mendominasi, Indonesia tetap sebuah negara yang berlandaskan pancasila. Negara yang memiliki hukum guna mengatur jalannya roda pemerintahan guna mencapai keadilan, ketentraman dan kesejahteraan warga negara. Berpikir dari konteks pluralis tersebut, setiap warganya harus bertanggungjawab terhadap hak dan kewajibannya. Tidak terkecuali pemeluk yang mendominasi. Sehubung pemaparan Ahmad Maarif, Islam memiliki kuantitas umat yang besar tetapi tidak disertai kualitas. Dalam hemat penulis, Islam dalam perkembangan yang pesat tidak disertai pendidikan yang seimbang, sehingga melahirkan fanitisme agama.

Salah satu pendidikan yang tidak seimbang terlihat dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional 2003. “Pada Pasal 13 ayat 1 tentang peserta didik, bahwa “setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Menurut Aritonang, ketentuan ini berdampak pada perselisihan baik secara teknis dan finansial sampai ditandatangani oleh Presiden Megawati. Perselisihan disebabkan pengabaian Pembukaan UUD 1945 yang menekan usaha pemerintah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu dan demokratis. Sementara gagasan RUU tersebut lebih mengacu pada beriman dan bertaqwa dan tidak berfokus pada mencerdaskan kehidupan bangsa. ” (Pdt. Dr. Jan S. Aritonang : 2004, 588-591). Menurut penulis, RUU tersebut telah melangkahi konstitusi Negara Indonesia. Setiap ketetapan yang dirumuskan perlu ditempatkan pada porsi yang sebenarnya. Undang-Undang tentang agama sebaiknya dipisahkan dari bidang pendidikan. Ini adalah keseimbangan. Bahkan sekarang RUU tersebut telah diberlakukan (paksa) di sekolah-sekolah miliki pemerintah maupun swasta. Menurut Franz Magnis-Suseno, kurangnya penerapan kepemimpinan yang demokratis di Indonesia (dalam Farinia Fianto, dkk (eds): 2008, 51-52).

Demikian dengan pandangan Ahmad Maarif, bahwa kwalitas pendidikan yang ditetapkan di Indonesia minim kualitas. Ketetapan yang difokuskan pada takut akan Tuhan yang hurufiah mengacu pada pendidikan agama, tanpa mencoba menjawab kebutuhan tingkat global (Ahmad Maarif: 2009, 214-215). Sehubungan dengan pandangan tersebut Sri Mulyati memaparkan bahwa tantangan global yang dihadapi semua orang perlu dibedakan antara tradisi di dunia Islam dan ajaran Islam yakni tentang kesederajatan, persamaan, keadilan, kebebasan, saling menghormati, dan toleransi. “Menurutnya, salah satu keterbelakangan umat dan kesiapan menghadapi tantangan globalisasi di beberapa Negara Islam disebabkan penerapan tradisi dan budaya ketat dan tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Padahal nilai-nilai universal agama perlu diterima setiap orang dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Oleh karena itu, Negara harus dapat memenuhi kebutuhan warganya, hak atas pendidikan. Misalnya hak anak mendapat pendidikan untuk dapat mempersiapkan diri menghadi tantangan global sesuai tingkat psikisnya, demikian didikan orang tua” (dalam Farinia Fianto, dkk (eds): 2008, 22-27).

Dengan demikian, pemikiran Islam dalam bingkai keindonesiaan yang pluralis perlu semangat baru guna mencapai kemerdekaan bersama. Kemerdekaan yang terbebas dari belenggu tradisi yang ketat tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Hemat penulis, bahwa Islam yang memiliki tingkat hukum selain Al-Quran perlu diarahkan pada lahirnya proyek demokrasi Islam yang mengacu pada UUD 1945. Maka, di dalam hukum Islam (rukun Islam dan rukun Iman) tetap menjalankan dualisme yakni menyelamatkan kehidupan duniawi dan akhirat.

Refleksi Teologis

Belajar seraya berefleksi, penulis bergumul tentang hubungan dan peran Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Diawali peristiwa asal usul Islam, invansi Islam di Arab, ekspansi Islam di Afrika, Eropa, dan Asia (khususnya di Indonesia). Kemudian perang salib, pencerahan dan perang panjang antara Islam dan Kristen berdampak pada pertahanan diri yang tertutup, bahkan berusaha mengabaikan agama yang lain (ekslusifisme).

Ahmad Maarif adalah tokoh nasionalis yang berusaha membangun jembatan dialog untuk tujuan bersama, cinta tanah air. Terbuka pada perjumpaan yang saling menerima, seperti peran NU dan Muhammadiyah. Maka, sikap toleransi yang diusul Ahmad Maarif sangat tepat untuk ditumbuhkembangkan. Bukan hanya agama Islam, tetapi juga agama yang lain. Seperti kalimat penutup disertasi Abd. Moqsith Ghazali, “seseorang tak boleh didiskriminasi dan dieksploitasi berdasarkan agama yang pilih. Umat Islam perlu mengembangkan sikap toleransi, simpati dan empati terhadap kelompok atau agama lain” (Ahmad Maarif: 2009, 181-180). Melalui aspek pendidikan, Islam perlu belajar dari sejarah bukan mengulang sejarah yang disebut romantisme. Sehingga setiap penafsiran Al-Quran dan kebijakan sesuai dengan landasan ideologi Pancasila. Kebijakan yang mengacu pada kebenaran universal. Oleh karena itu, setiap masalah harus dibedakan dalam tataran konseptual dan praksis secara objektif, bukan mengacu pada keberadaan suatu agama ataupun kelompok tertentu. Seperti permasalah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Itu adalah masalah Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaa.

Salah satu usaha konkrit yang ditawarkan Ahmad Maarif adalah aspek pendidikan. Keseimbangan pendidikan spiritual dan logika wajib dimulai dari masyarakat terkecil, keluarga. Pendidikan yang mengajarkan bagaimana seseorang merespon setiap doktrin yang disampaikan, serta dapat mengejawantahkan ke dalam pengalaman empiris nara didik. Dengan demikian, sepakat dengan simbol yang digunakan Ahmad Maarif, supaya setiap umat beragama perlu menjadi garam bukan gincu, “garam, terasa tetapi tidak kelihatan, bukan menjadi gincu, kelihatan tetapi tidak terasa” (Ahmad Maarif: 2009, 279-280).

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005