Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

Perjumpaan Militer Babak Pertama

EKSPANSI ISLAM PADA ABAD KE-7 SAMPAI ABAD KE-11:

PERJUMPAAN MILITER BABAK PERTAMA


Pendahuluan

Menurut Dr. Th. van den End dan Dr. Christian de Jonge, perjumpaan antara Kristen dan Islam di bidang politik dan militer dalam sejarah dapat dibedakan menjadi empat periode, yaitu perluasan kerajaan Arab di bawah panji Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-9, perang Salib pada abad ke-9 sampai abad ke-12, serangan orang-orang Turki di abad ke-11 sampai abad ke-13, dan ekspansi Eropa Barat mulai abad ke-16[1]. Dalam paper ini kelompok akan membahas mengenai dua periode yang pertama yaitu pada abad ke-7 sampai abad ke-9 dan abad ke-9 sampai abad ke-11. Secara khusus kelompok akan membahas mengenai perjumpaan militer yang terjadi.

Abad ke-7 Sampai Abad ke-9: Ekspansi Islam

Pada tahun 633, setahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad, prajurit Arab yang telah menyatu di bawah panji Islam dan kepemimpinan kalifah Abu Bakar bergerak menyerang Persia dan juga kekaisaran Romawi Timur. Kedua kekaisaran besar ini telah saling berperang dalam perebutan wilayah sehingga berada dalam keadaan yang lemah. Selain itu, prajurit Arab tidak bergerak sendiri melainkan bekerjasama dengan penduduk lokal, termasuk di dalamnya mereka yang beragama Kristen dari golongan Nestorian, Yakobit dan Melkit.

Sebelum kehadiran Muhammad dan ajaran Islamnya, orang-orang Arab hidup secara nomadik dan mempertahankan kelompoknya dengan menyerbu wilayah-wilayah sekitar demi mendapatkan sumber daya yang mereka butuhkan. Konsep yang sama dikembangkan oleh Muhammad pada saat menghadapi permusuhan orang-orang Mekah dan hidup dalam komunitas kecil di Medina, namun kali ini dengan memberikan muatan teologis yang kemudian dikenal sebagai jihad atau perang suci melawan non-muslim. Dengan strategi inilah Muhammad berhasil menjadikan komunitas-komunitas di wilayah Hijaz beragama Islam dan bersatu, menghilangkan penyembahan berhala di wilayah Arab dan memaksa orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen di wilayah tersebut membayar pajak kepadanya[2]. Doktrin jihad ini kemudian diteruskan oleh Abu Bakar yang menjadi penerus Nabi Muhammad. Pada dasarnya doktrin tersebut merupakan praktik nomadik yang dilembutkan menjadi prosedur dan taktik operasi militer, termasuk mengatur perlakuan terhadap orang-orang yang dikalahkan dan juga sistem ekonomi yang diterapkan di wilayah-wilayah yang berhasil direbut[3]. Mereka yang beragama Kristen, Yahudi dan Zoroaster kemudian dikenal sebagai dhimmi atau orang-orang yang dilindungi. Kepada mereka dikenakan pajak per kepala sebagai “biaya perlindungan”. Paus Johanes VIII harus membayar pajak selama dua tahun kepada umat Islam. Dhimmi secara otonomi internal di bawah pemimpin agama mereka sendiri, seperti uskup atau pendeta. Sejumlah pajak harus dibayar kepada guber­nur Muslim untuk setiap orang dalam kelompok tersebut, serta berbagai jumlah lainnya sesuai perjanjian yang di­sepakati. Mereka terkadang membayar rata-rata lebih se­dikit daripada ketika mereka berada di bawah penguasa sebelumnya. Dan merupakan masalah kehormatan bagi ne­gara Islam untuk melindungi mereka secara efektif.[4]

Kondisi kehidupan kelompok yang dilin­dungi ini bukannya tidak mengenakkan, tetapi mereka tetap menderita sejumlah kerugian. Seperti: Mereka tidak diperboleh­kan menjadi tentara atau menikahi wanita-wanita Muslim,[5] dan mereka biasanya tidak disertakan untuk memegang jabatan-jabatan penting atau tinggi dalam pemerintahan. Karena kerugian-kerugian ini, seorang dhimmi boleh jadi merasa dirinya warga negara kelas dua. Maka tampak bahwa perasaan merugi inilah yang meng­akibatkan terjadinya perpindahan agama dari Kristen ke Islam, secara terus-menerus selama berabad-abad.[6]

Menurut para ahli sejarah masa kini, serangan Islam terhadap wilayah-wilayah ini bukanlah terjadi dalam sekejap, melainkan merupakan sebuah proses yang berlangsung terus menerus selama dua abad[7]. Dalam dokumen-dokumen sejarah dikatakan bahwa penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh tentara Islam sangatlah mengerikan[8], khususnya bagi mereka yang tidak hidup di dalam tembok-tembok kota. Para penduduk kota dapat mempertahankan diri dan bernegosiasi dengan tentara yang menyerang. Dengan membayar pajak dan upeti kepada para pemimpin serangan, mereka terhindar dari maut. Bahkan, beberapa aliran kekristenan Timur di bawah pemerintahan kepala suku Arab tertentu justru dapat berkembang pesat[9].

Selain penyerangan ke wilayah-wilayah kekristenan Timur, tentara Arab juga melakukan penyerangan ke wilayah kekristenan Barat, antara lain ke wilayah Spanyol yang saat itu berada di bawah pemerintahan kaum Visigoth[10]. Pada bulan Juli tahun 711, tentara tersebut berhasil menurunkan raja orang-orang Visigoth[11], Roderick, dan kemudian menghancurkan pusat pemerintahan kerajaannya.[12] Masyarakat lokal yang dikalahkan kemudian menjadi sekutu yang dilindungi. Setelah peristiwa ini, tidak ada lagi perlawanan terhadap kaum Muslim, kecuali pada tingkat lokal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepentingan kemiliteran, jihad telah mengakibatkan ekspansi Imperium Islam. Meski­pun praktek ini tidak lagi secara langsung meng­arah kepada pemindahan agama.[13] Wilayah-wilayah yang telah tunduk di bawah pemerintahan orang-orang Arab tersebut hampir semuanya berada dalam keadaan damai. Walaupun bentrokan sesekali terjadi justru antara faksi-faksi dalam Islam sendiri yang memang beragam.[14]

Secara umum, orang-orang Arab yang memeluk agama Islam dalam melakukan ekspansi digerakkan oleh iman mereka, kepercayaan bahwa mereka adalah suatu bangsa terpilih yang berada di atas bangsa-bangsa lain dan tindakan mereka membinasakan maupun memperbudak orang-orang beragama lain, menghancurkan rumah, desa dan kota serta mengambil barang-barang berharga adalah melaksanakan kehendak Allah[15] atau yang dikenal oleh mereka sebagai jihad[16]. Namun, perlu diingat bahwa tindakan seperti ini sangat umum dilakukan oleh tentara-tentara dalam peperangan pada zaman itu[17].

Abad ke-9 Sampai Abad ke-11: Perang Salib

Perang salib terjadi sekitar tahun 1090-an, perang ini merupakan babak pertama invasi Barat ke Islam di wilayah Timur Dekat. Istilah bahasa Arab yang sepadan untuk para tentara salib (al-shalibiyyun, orang yang mengangkat senjata demi Salib) baru digunakan kemudian pada abad ke-19 dan 20. Etimologi kedua istilah tersebut, Crusader (dari bahasa Latin crux yang berarti kayu salib) dan shalibiyyun (dari bahasa Arab shalib yang berarti kayu salib) menegaskan pusat simbolisme Cross (kayu salib) yang mendasar operasi-operasi militer kaum Eropa yang kemudian dikenal dengan Crusade, yang berarti Perang Salib (dalam bahasa Arab modern disebut al-shalibiyyah).

Permasalahan yang melatar belakangi perang salib menurut Lucas, H. S, adalah penaklukkan bangsa Turki terhadap kekaisaran Byzantium dan penghambatan terhadap peziarah Eropa yang datang ke makam kudus di Yerusalem.[18] Kekaisaran Byzantium mengalami kekalahan yang telak dari orang Turki Saljuk di Manzikert pada tahun 1071. Pada tahun 1095 Urbanus II (1088-1099) menerima permohonan bantuan militer dari kaisar Byzantium, Alexus I. Seorang Paus dianggap dapat mempengaruhi Eropa dalam hal keagamaan dan politik. Pemberian bantuan tersebut diharapkan mendatangkan kemajuan berarti dalam hubungan-hubungan di kalangan Gereja Timur dan Barat.

Pada tahun 1095, dalam pertemuan di Clermont, dihadapan para pendeta, ksatria, dan orang-orang miskin, Paus Urbanus II memberikan pidato untuk melaksanakan perang suci melawan bangsa Turki.[19] Paus Urbanus II dalam pidatonya mengatakan bangsa Turki adalah musuh Tuhan oleh karena itu makam kudus di Yerusalem harus direbut kembali[20] Orang-orang menyambut baik pidato ini dengan berteriak “Deus lo Vult” atau Allah menginginkannya (perang salib).[21]

Ada kecenderungan Paus Urbanus II dan tentara salib berani merebut wilayah-wilayah Kristen di timur karena melihat kekuatan Islam sudah terpecah-pecah. Setelah abad ke delapan, ada persaingan dan perebutan kekuasaan di antara bangsa-bangsa Muslim yang ingin berkuasa di bawah kekhalifahan mereka masing-masing. Kekhalifahan Islam seperti di Mesir, Syiria, dan Persia berdiri sendiri-sendiri sehingga kekuatannya melemah. Konsentrasi bangsa Eropa terfokus pada bangsa Turki yang menguasai Yerusalem.

Pada tahun 1096, tentara salib gelombang pertama mulai menuju Yerusalem dan baru pada tahun 1099 berhasil merebut kembali kota-kota seperti Antiokia, Edessa dan Tripoli danYerusalem.

E. Benz seperti dikutip oleh Anton Wessels mengatakan bahwa melalui Perang Salib gereja-gereja di Timur mulai menyadari bahwa Paus dari gereja Katolik Roma melalui penguasaan dunia secara rohani, juga hendak mengarah kepada penguasaan dunia secara politik. Gereja-gereja Ortodoks yang melawan keinginan itu diupayakan untuk ditumpas melalui kekuatan senjata. Tujuan Perang Salib bukanlah berkaitan dengan kaum Muslim saja tetapi ditujukan juga kepada gereja-gereja Ortodoks[22].

Motivasi utama untuk mengambil alih kota Yerusalem dari kekuasaan Islam pada praktiknya berkembang menjadi pelbagai motivasi. Baik para bangsawan, tentara dan klerus yang ikut dalam perang salib, selain membawa motivasi kesalehan juga terpengaruh motivasi pribadi yang keduanya saling berkaitan. Motivasi kesalehan didasari untuk merebut kembali Yerusalem dari kekuasaan Islam, tradisi berziarah ke makam kudus di Yerusalem dan janji penebusan dosa yang diberikan oleh Paus. Sedangkan motivasi duniawi membuat perang salib menjadi sarana untuk mendapatkan masa depan yang baru, kehormatan dan mendapatkan tanah.

Eropa menganut tradisi bahwa tanah diwariskan hanya untuk anak laki-laki tertua. Oleh karena itu, banyak tentara salib yang merasa bukan ahli waris tanah dari keluarganya pergi berperang ke Yerusalem untuk memperoleh di tanah yang baru. Pangeran Bohemund dari Toranto contohnya, mengikuti perang salib selain kesalehannya sebagai seorang Kristen tetapi juga ada motivasi pribadi untuk memperoleh tanah di timur agar dapat mendirikan kerajaannya di timur.[23]

Perang salib untuk merebut kembali wilayah-wilayah Kristen berdampak pada bangkitnya counter-crusade atau semangat jihad dari kaum muslim yang sepertinya telah tertidur setelah abad ke sembilan.[24] Semangat jihad kaum Islam ini dibuktikan dengan perlawanan mereka terhadap tentara salib untuk memperebutkan tanah Palestina sampai dengan abad ke tiga belas.

Gagasan untuk menjalankan peperangan demi membela kepercayaan agama Kristen setidak-tidaknya dapat dilacak kembali sampai Kaisar Konstantinopel. Pada abad ke-9, Agobard dari Leon menafsirkan pemberian pedang oleh Paus kepada Kaisar sebagai penaklukan atas bangsa-bangsa barbar, supaya mereka memeluk kepercayaan (Kristen) dan memperluas batas-batas kerajaan orang beriman. Brun dari Querfurt pada abad ke-10, menyatakan bahwa tugas seorang raja Kristen dalam kaitannya dengan penyembahan berhala adalah mendorong mereka untuk masuk Kristen dengan pedang. Selain itu berkembang juga konsepsi mengenai prajurit yang menyebutkan bahwa seorang pengikut Kristen harus memainkan peranannya dalam perang yang defensif (mempertahankan diri) dan mengungkapkan adanya jaminan kebenaran dalam keikutsertaan dalam perang yang ofensif (menyerang).

Perang salib selain berdampak pada peperangan antara orang Kristen dan Islam selama kurang lebih tiga abad, berdampak pula dalam kehidupan sosial bangsa Eropa dan bangsa Arab. Di tanah Palestina, orang Kristen dan Islam hidup saling berinteraksi dalam hal budaya dan teknologi. Orang Kristen mulai berdagang dan mengadopsi kehidupan orang timur dan Islam seperti kebiasaan mandi, mencukur jenggot, mengenal jenis buah-buahan, sayuran dan bumbu masak yang baru.[25]

Refleksi dan Pertanyaan-pertanyaan Teologis

1. John dari Nikiou menuliskan “It is impossible to describe the lamentable position of the inhabitants of this town... finding no one to help them because God had abandoned them and had delivered the Christians into the hands of their enemies[26].” Apakah benar bahwa yang dihadapi oleh orang-orang Kristen di abad ke-7 hingga ke-9 itu adalah tanda bahwa Tuhan meninggalkan mereka? Mungkinkah kehadiran Islam dan penderitaan yang dialami oleh orang Kristen pada abad-abad tersebut serupa dengan pengalaman bangsa Israel di pembuangan? Jika demikian apakah yang menjadi alasan “pembuangan” tersebut? Apakah kalahnya wilayah-wilayah kekristenan ini merupakan hukuman dari Tuhan kepada mereka? Hukuman atas kesalahan apa?

2 . Perang Salib tidak hanya berdampak buruk bagi orang muslim tapi juga pencitraan orang Kristen yang salah atas pemahaman Alkitab. Untuk masa sekarang ini perang bisa jadi ditenggarai kepentingan agama khususnya di Indonesia tapi di dalamnya mengandung kepentingan politik. Kaum awam akan sangat mudah dihasut dalam mencapai kepentingan-kepentingan golongan tertentu yang ingin mencapai kekuasaan. Dalam perang salib disebutkan bahwa agama bukanlah faktor utama pecahnya perang tersebut. Berbagai sumber menyebutkan bahwa perang tersebut diakibatkan karena adanya kepentingan memperluas wilayah kekuasaan dan juga faktor ekonomi. Jika demikian, bagaimanakah kita membaca ulang sejarah tersebut sehingga agama tidak lagi dijadikan sebagai alat untuk menyatukan umat melawan “musuh”?

3. Deus lo Vult” atau Allah menginginkannya (perang salib) dipercaya sebagai legalitas dari Allah untuk berperang dengan bangsa lain. Ungkapan yang serupa dengan “Deus lo Vult ini seringkali dipakai oleh kelompok-kelompok atau ormas-ormas tertentu untuk melegalkan tindakan kekerasan terhadap idiologi yang berseberangan dengan mereka. Mengapa seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa Tuhan merestui tindakan kekerasan mereka terhadap orang lain? Apakah dengan membawa nama Tuhan berarti mereka di pihak yang benar?



[1] Dr. Th. van den End & Dr. Christian de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2001), hal. 18

[2] Bat Ye’or, The Decline of Eastern Christianity under Islam: from Jihad to Dhimmitude, (London: Associated University Press, 2002), hal. 39

[3] Ibid., hal. 39-40

[4] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia – Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hal 6

[5] Pada bagian pernikahan dan hubungan seksual dengan wanita Muslim merupakan pencemaran terhadap Islam dapat dihukum mati. Hubungan antara para dhimmi dan para Muslim dilarang, kemungkinan berdampak pada ancaman yang kuat bagi kesatuan tentara Islam.

[6] W. Montgomery Watt, hal 10. Perpindahan agama ini bahwa kaum Mus­lim tampak tidak terlalu mempedulikannya dan pada penghujung abad ketujuh, tampak bahwa beberapa pemim­pin Muslim tidak mendukung pemindahan tersebut, karena praktek itu akan mengurangi pemasukan pajak dan mem­pertinggi anggaran belanja negara.

[7] Bat Ye’or, hal 44

[8] John dari Nikiou misalnya dalam catatannya yang dimuat dalam buku Bat Ye’or mengatakan “it is impossible to describe the horrors the Muslims committed when they occupied the island of Nikiou”. Catatan sejarah yang lain pada dasarnya mengungkapkan hal yang sama yaitu terjadi pembantaian, perbudakan dan perampokan harta yang luar biasa.

[9] Dalam buku Azis Atiya, A History of Eastern Christianity, (Millwood: Kraus Reprint, 1980) misalnya dijelaskan bagaimana Kekristenan Koptik, Yakobit dan Nestorian berkembang pada tahun-tahun tertentu.

[10] W. Montgomery Watt, hal 2

[11] Visigoth adalah sekumpulan kristen orang yang berasal dari wilayah Jerman, yang menyerbu Imperium Romawi pada awal-awal abad berkembangnya agama Kristen. Orang-orang inilah yang menguasai Spanyol, sebelum wilayah tersebut dimasuki orang-orang Arab. Kekalahan Visigoth dikarenakan penghianatan dari orang Visigoth sendiri.

[12] W. Montgomery Watt, hal 3

[13] W. Montgomery Watt, hal 11

[14] W. Montgomery Watt, hal 3

[15] Bat Ye’or, hal 52

[16] Usaha menguasai diri sendiri, bertahan hidup dan kemudian ekspansif ke luar.

[17] Bat Ye’or, hal 52

[18] Hendy S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat: Abad Pertengahan (Yogya: Tiara Wacana Yogya, 1993), hal 115-118

[19] Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World (New York: Anchor Books, 2001), hal 3

[20] Hendy S. Lucas, hal 117-119

[21] Hans Eberhard Mayer, 2nd edt, The Crusades (New York: Oxford University Press,1965), hal 9

[22] Anton Wessels, Arab dan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hal 195

[23] Karen Armstrong, hal 149

[24] Aziz Atiya, Crusade, Commerce & Culture (New York: John Wiley & Son, Inc., 1962), hal 131

[25]Hendy S. Lucas, hal120.

[26] Bat Ye’or, hal 272

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005