Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

Dimensi Religiositas Puisi Fridolin Ukur

Dimensi Religiositas Puisi Fridolin Ukur

Dalam Ranah Tafsir Karya Sastra


Abstraksi

Dimensi religiositas adalah salah satu sisi yang terdapat dalam puisi sastra modern. Sumber alur puisi ini jelas terlihat dari teksnya seperti unsur kesuku-bangsaan (dimensi etnisitas) dan unsur keagamaan (dimensi religiositas).[1] Dimensi tersebut memperhadapkan keberadaan manusia dalam peran dan tanggungjawabnya. Misalnya bagaimana cara manusia memahami keberadaan Tuhan dan akan mempengaruhi cara mereka hidup bermasyarakat. Dalam bermasyarakat manusia sering berdiri dalam dualisme kepercayaan. Satu sisi manusia bangga akan dirinya yang merupakan ciptaan Tuhan yang segambar dengan diri-Nya dan manusia bergumul mencari damai sejahtera yang dari Tuhan. Di sisi lain manusia juga sering menganggap dirinya superior dari sesama maupun ciptaan lainnya

Kata kunci: Tuhan, Manusia, Dosa, Kasih, Cinta, Mati, Hidup.

I. Pendahuluan

1.1 Perumusan Masalah

Puisi adalah salah satu bentuk karya yang memiliki nilai seni dan kerygma. Nilai seni digambarkan dengan bahasa yang indah dan menghadirkan suasana yang sesuai dengan pergumulan penyair baik dalam dirinya, masyarakat bahkan suatu kepercayaan atau suatu agama.

Salah satu sastrawan yang terkenal di Indonesia adalah Fridolin Ukur. Sebagai sastrawan Fridolin lebih dikenal dengan nama Eff. Serau. Nama muncul ketika ia menjabat sebagai Pimpinan Redaksi majalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), ia selalu mengakhiri tulisannya dengan nama Eff. Serau.

Dalam tulisannya nampak jelas pemahamannya tentang iman Kristiani. Menurutnya Gereja tidak sekadar tempat upacara ritus, tetapi juga wadah umat dalam mengemban tugas kemanusiaan.

Pandangan Fridolin di atas dipengaruhi oleh pendidikan agama Fridolin yang telah diajarkan orang tuanya. Selain itu inspirasi ke-Tuhanan juga lahir dari hubungan akrab dengan Pendeta Ethel Bert Saloh.[2]

“Ethel Bert Saloh berkata, ‘Kristen Indonesia harus lebih dewasa dalam menjaring pengaruh polarisasi gereja di negara Barat. Citra Kristen harus merakyat. Misalnya Kristen di Bali, tidak harus mengenakan jubah hitam dalam upacara gereja. Karena di Bali, hitam lambang adalah kejahatan. Apakah pendeta Kristen harus mempertahankan jubah hitam yang merupakan tradisi Barat itu?’’

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep Tuhan dalam puisi Fridolin memiliki sifat-sifat ke-Tuhanan yakni sesuatu yang hanya dapat dipercayai dan dimaknai, walaupun tidak dapat diraba. Maka puisi-puisinya memiliki kecenderungan akan sebuah pewahyuan dari pengalamannya baik secara spontan ataupun perenungannya terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, maupun sekitarnya. Pewahyuan ini diperoleh lewat alam sadar ataupun lewat alam tidak sadar tentang imannya terhadap Tuhan Yesus. Dengan kata lain puisi-puisi Fridolin tentang Tuhan adalah suatu penafsiran dan pemaknaannya tentang hidup.

Puisi Fridolin tentang Tuhan merupakan satu karya sastra bertujuan menggambarkan sisi ke-Ilahian Tuhan dan relasi manusia dengan Tuhan dalam realitas dari iman. Hubungan baik antara manusia dalam keberdosaan dan kelemahannya selalu mengharapkan pengampunan Tuhan. Sementara itu respon manusia juga dituntut dalam pertobatan. Dalam hemat penulis bahwa puisi-puisi Fridolin Ukur dalam dimensi religiositas bertujuan untuk mengajar dan mengigatkan pembaca bagaimana manusia memahami dirinya dan Tuhan yang maha pengasih dan maha kuasa. Itu adalah makna sejati dari iman.

Dengan demikian berdasarkan pemahaman penulis di atas konsep dimensi religiositas puisi sering mengalami pergeseran bentuk dan makna sesuai dengan waktu dan suasana penulisan. Selain itu konsep Tuhan yang berkembang sering dikaburkan oleh konsep-konsep hubungan Tuhan dan manusia bahkan dapat membuat pembaca salah memahami dimensi religiositas.

Pandangan di atas dapat dilihat dalam puisi-puisi Fridolin. Fridolin menggunakan sifat manusia seperti keegoisan, sikap acuh, ketamakan, dan merasa telah menjadi tuhan dalam keberadaannya, dan sebagainya. Sikap tersebut disebabkan usaha manusia dalam memahami peristiwa, konsep diri, sosial masyarakat, dan usaha menjangkau keberadaan Tuhan yang transenden khususnya dalam usaha mencari kebenaran yang mutlak dalam suatu agama. Dalam hemat penulis permasalahan dalam puisi-puisi Fridolin Ukur dirangkumkan pada pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apa ciri khas puisi Fridolin khususnya dalam dimensi religiositas? bagaimana konsep Tuhan menurut Fridolin? Tuhan seperti apa yang Fridolin maksud? apa tujuan penulisan puisi tentang Tuhan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis akan menggunakan analisis unsur-unsur sastra khususnya unsur alur, penokohan dan setting dan teori semiotik. Metode pendekatan yang menekankan nilai-nilai dalam teks. Seperti yang dikatakan Wimsat dan Beardsly dalam tulisannya, The intentional fallacy, yang menghimbau agar pembaca tidak mengacaukan antara maksud pengarang dengan apa yang terdapat dalam teks.[3] Dengan kata lain Wimsat dan Beardsly mengatakan supaya dalam memahami puisi seharusnya berpegang terhadap apa yang tertulis dalam teks, bukan apa yang dimaksudkan oleh pengarang ketika menulis. Pembaca tidak mengacaukan antara tanggapan emosional pembaca sendiri terhadap teks yang sesungguhnya. Hal senada dikatakan Bertens yang mengutip Lawrence bahwa jangan percaya pada sang seniman melainkan percayalah pada apa yang diceritakannya.[4]

1.2 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan ini adalah menganalisa dan menginterpretasikan puisi Fridolin Ukur secara tekstual dalam kerangka memahami dimensi religiositas dari konsep Tuhan.

Menganalisa puisi-puisi Fridolin Ukur dalam rangka menginterpretasikan-nya secara tekstual puisi. Unsur tekstual difokuskan pada unsur sastra intrinsik khusus unsur alur (plot), penokohan dan setting.

II. Pembahasan Masalah

2.1 Mengenal Fridolin Ukur

Fridolin lahir di Tamiang Layang pada tanggal 5 April 1930 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 26 Juni 2003.

Fridolin Ukur adalah seorang Letnan Muda dalam TNI pada tahun 1946-1950. Kemudian ia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta pada tahun 1956 dan Fakultas Teologia Basel, Swis pada tahun 1965. Kemudian ia menjadi Pendeta Mahasiswa pada tahun 1956-1958, sebelum menjadi Pendeta Jemaat pada tahun 1958-1959 dan tahun 1959-1970 bekerja sebagai Dosen Akademi Teologi. Pada tahun 1985 Fridolin menjabat sebagai Sekretaris Umum di Persekutuan Gereja Indonesia (PGI).[5]

2.2 Tuhan dan Simbol Kristen dalam Puisi

Penulis memaparkan enam puisi Fridolin tentang Tuhan (atau Dia), dan atau simbol-simbol kekristenan. Adapun enam puisi tersebut memiliki perbedaan gaya bahasa, konteks budaya, setting, penokohan, sudut pandang dan alur.

2.2.1 ‘Maut itu Untung[6]

Kata ‘mati’ dan ‘untung’ adalah kata kunci dalam puisi. Puisi ini menggunakan bentuk paradoks antara kematian oleh maut dalam perspektif umum dan iman Kristen. Dalam perspektif umum kematian adalah maut sedangkan dokma Kristen mengajarkan kematian Yesus di kayu salib adalah keuntungan. Dalam hal ini Fridolin memahami manusia secara filosofis dan dogmatis bahwa tidak ada kematian kekal akan tetapi hidup kekal bagi semua yang percaya.

Kematian adalah duka. Kata ‘duka’ merupakan bentuk pengalaman realitas Fridolin bahwa kematian berarti memisahkan antara manusia yang hidup dan mati. Menurut penulis bahwa kematian adalah masa di mana manusia memiliki waktu yang sementara. Fridolin menggunakan kata ‘menyelesaikan kesementaraan.’ Selanjutnya kata duka sejajar dengan kata merobek dan mencabik yang berarti sesuatu yang ditakuti manusia dalam ritus kematian.

Di sisi lain kematian adalah ratapan. Kata ‘ratapan’ berarti ketidakmampuan manusia untuk memahami dan menghentikan kematian seperti proses kematian yang tiba-tiba dengan kata ’memburu.’ Realitas kehidupan manusia yang terkait erat dengan keluarga dan masyarakat dipisahkan oleh waktu yang tidak ditentukan. Fridolin mengigatkan manusia pasti akan mati (lihat kata ‘kehilangan).’ Kata tersebut diterangkan dengan kata ‘raung tangis,’ adalah salah satu bentuk dari respon manusia dalam memahami kematian.

Selanjutnya kematian adalah kepunahan. Kata ‘kepunahan’ adalah bagian yang erat dari keberadaan manusia. Dalam dokma Kristen manusia berasal dari debu dan tanah yang berarti hampa dan tidak berarti. Dalam hemat penulis kematian adalah masa di mana manusia berhenti beraktifitas, berkarya dan dihargai dan menjadi tidak berarti selayaknya debu.

Berdasarkan penjelasan kesimpulan penulis adalah Fridolin membandingkan kematian secara umum dengan perspektif iman kristiani dengan frasa ‘tapi bagi kita, maut adalah untung.’ Kematian adalah proses yang menakutkan yang dapat mengubah manusia kembali menjadi debu. Hubungan sebab akibat tersebut merupakan paradoks kematian bahwa manusia secara umum takut akan kematian.

Hubungan paradoks di atas ditujukan bagi setiap orang percaya ‘kita.’ Akan tetapi Fridolin menguatkan pembaca bahwa iman dapat memberi hidup kekal bersama Dia, sang pencipta. Demikian hubungan maut dengan kematian yang membawa duka dalam perspektif iman Kristen bahwa kematian adalah keuntungan. Kematian berarti membuka jalan bagi setiap orang untuk lepas dari ‘kebinasaan, kehinaan, kelemahan,’ dan masuk ke dalam ‘kekekalan, kemuliaan, dan kekuatan.’ Fridolin mengunakan kata ‘sekejap’ yang mengacu pada masa keakanan di mana manusia akan bersama-sama dengan Dia.

Dengan demikian kematian berarti kembalinya seseorang kepada syalom tanpa kehinaan dan kebinasaan. Karena kematian Dia disebabkan oleh cinta, maka manusia menjadi pewaris hidup kekal dari kerajaan-Nya. Fridolin menggunakan kata ‘dihidupkan, ditumbuhkan, dan dibangkitkan’ seperti ritus kehidupan Yesus.

Dalam hemat penulis puisi ini menekankan konsep Tuhan yang memberikan jaminan keselamatan pada semua orang yang percaya pada Dia dan menjadi pewaris kerajaan-Nya.

2.2.2 ‘Magnifikat’[7]

Gambaran seseorang yang beriman supaya keturunannya selalu setia mengikut Dia. Pada bait pertama frasa pembukaan ‘di dadaku membakar bara, ‘di tubuhku mengalir darah Hawa.’ Fridolin mengajarkan pembaca untuk belajar dari kesalahan Hawa.

Fridolin memahami bahwa dosa adalah jarak yang memisahkan manusia dengan Dia. Seperti pemberontakan Hawa terhadap perintah-Nya. Kata ‘membara’ adalah sebab akibat dari dosa yang mengakibatkan hubungan manusia menjadi rusak dalam kefanaan yang kecut, lihat frasa ‘pada diriku tiada secercah kesucian.’

Fridolin menggunakan bahasa yang paradoks antara kesucian Tuhan dan keberadaan manusia yang fana. Kata ‘kealpaan’ dan ‘kefanaan’ adalah bentuk kesejajaran yang mengakibatkan manusia berpisah dari Dia.

Selanjutnya frasa ‘tapi jiwaku memuliakan Engkau Tuhan,’ dan ‘rahasia putih begitu bersih!,’ menurut penulis, Fridolin menggunakan gaya bahasa perbandingan dengan kata sambung ‘tapi’ untuk kefanaan manusia. Sedangkan kata ‘Tuhan’ merupakan jawaban satu-satunya untuk masuk ke dalam kesucian.

Menurut penulis Tuhan adalah jalan satu-satunya keselamatan yang memberikan anugerah bukan dengan usaha manusia (lihat kata kerja pasif ‘jenguk’). Tuhan adalah jalan ke luar dari lingkaran dosa.

Selanjutnya penggunaan kata ‘rahasia’ bertujuan memperkuat tesis Fridolin bahwa manusia diselamatkan hanya dengan kematian dan kebangkitan Tuhan yang tulus dengan kata ‘bersih.’

Selanjutnya frasa ‘dari kini, nanti, dan selamanya,’ dan ‘perawan berbahagia!.’ Penggunaan kata ‘selamanya’ adalah respon dari pengharapan Fridolin dan keturunannya untuk setia pada Tuhan. Sementara kata ‘perawan’ mengacu pada contoh manusia yang setia pada Tuhan seperti ibu-Nya.

Dalam hemat penulis konsep Tuhan dalam puisi ini nampak dalam rancangan keselamatan Tuhan kepada manusia yang berdosa. Kesimpulan tersebut dimulai dari wanita perawan yang telah diberi kesempatan untuk mengandung Putra Kudus. Fridolin menyadari bahwa ia adalah manusia yang berdosa namun oleh karena kasih Allah yang tulus sehingga Ia mengutus anak-Nya ke dunia untuk menebus dosa manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep Tuhan pada puisi ini menggambarkan kasih dan kemurahan Tuhan yang lahir menjadi sama dengan manusia dan menebus dosa manusia. Tuhan dalam puisi ini digambarkan sebagai sosok yang agung, suci dan maha murah hati.

2.2.3 ‘Cinta Yang Merah’[8]

Pada bait pertama nampak frasa ‘menghapus segala yang gerah;’ dan kalimat keterangan ‘setiap wajah.’ Fridolin mengungkapkan, cinta adalah sesuatu yang membawa kebebasan bagi setiap orang. Cinta yang membebaskan digambarkan dengan kata kerja menghapuskan, membasuh dan menjamah segala gerah.

Gerah mewakili masalah yang dihadapi setiap orang dalam kata benda bentuk jamak ‘wajah.’ Maka gerah adalah masalah yang dihadapi setiap orang dan berharap segera keluar.

Selanjutnya frasa ‘hadirlah sebuah kisah, dan ‘tentang jantung terbelah.’ Kata ‘hadirlah’ adalah gaya bahasa yang menghadapkan kehadiran dari sesuatu seperti sosok pribadi maupun peristiwa yang diharapkan. Maka kehadiran di sini berarti untuk membebaskan masalah manusia. Bentuk kata kerja infinitif ‘hadirlah’ diterangkan dengan kehadiran kata ‘kisah’ yang berarti tentang kedatangan seseorang. Fridolin menghimbau supaya setiap orang yang memiliki masalah dengan frasa ‘hadirlah kisah.’ Kisah ini disebabkan kondisi manusia dan dunia yang penuh dengan masalah. Misalnya frasa ‘tentang jantung terbelah dan di bumi bernanah.’

Dalam hemat penulis masalah manusia yang terutama adalah putusnya hubungan manusia dengan Dia yang dikarenakan sesuatu yang berbau, menurut penulis adalah ‘dosa manusia.’ Masalah tersebut terletak pada ‘jantung terbelah’ yang berarti bagian vital dari diri manusia itu sendiri. Bagian ini adalah jantung dari manusia yang memacu darah untuk selalu mengalir ke seluruh organ-organ tubuh dan bila berhenti atau terhambat akan berakibat fatal. Oleh karena itu kehadiran seseorang diharapkan untuk mengubah kondisi manusia ke dalam suasana damai sejahtera. Seperti terjalinnya kembali hubungan baik antara manusia dan Tuhan.

Selanjutnya frasa ‘di tengah kepapahan gelap pekat,’ dan ‘ada kesetiaan dekat melekat.’ Fridolin menjelaskan pengumulannya terhadap suasana dunia yang penuh masalah dengan kata ‘marah’ dan arti kehadiran ‘kisah seseorang.’ Fridolin menggunakan gaya bahasa paradoks untuk menggambarkan sifat manusia dan Yesus seperti marah dan ramah, kepapahan dan kesetiaan. Arti kehadiran-Nya memberi teladan bagi setiap manusia dalam situasi apapun. Seperti cinta-Nya yang menghapuskan marah dan kegelapan yang disebabkan dosa. Dia tetap setia menanti manusia yang bertobat.

Selanjutnya frasa ‘kami sampaikan salam ramah,’ dan ‘dalam cerita yang merah.’ Bagian akhir puisi ini adalah kesimpulan. Penulis memahami bahwa Fridolin menghimbau kepada pembaca untuk berperan serta dalam memahami kondisi dunia dan keberdosaan manusia yakni dengan mengigat kisah pengorbanan Yesus di kayu salib dan selalu berpengharapan akan kedatangan-Nya kembali. Dalam hemat penulis konsep Tuhan dalam puisi ini adalah Tuhan yang berkorban dengan memberikan diri-Nya ke dunia untuk menebus dosa manusia.

2.2.4 ‘Persahabatan’[9]

Pada bait pertama, Fridolin menganalogikan persahabatan seperti cara memainkan alat musik. Kata kerja kupetik sejajar dengan kata kerja kutabuh, kuanyam dan kurajut. Kata kerja tersebut adalah cara-cara menggunakan alat musik untuk mengiringi seseorang bernyanyi.

Dalam menjalin persahabatan dengan seseorang membutuhkan seni. Misalnya memahami sifat sahabatnya baik kelebihan dan kelemahan. Sementara kata kerja kupetik dan kutabuh adalah cara mengeluarkan bunyi-bunyian yang merdu untuk didengar sahabatnya, demikian dengan kata kerja kuanyam dan kurajut adalah usaha untuk menjaga persahabatan dalam kesabaran dan ketenangan.

Selanjutnya frasa ‘merenda kenangan masa lampau.’ Kata ‘kenangan’ sejajar dengan ‘bayangan’ sesuatu yang telah terjadi dan diterangkan dengan kata masa lampau. Kenangan dijadikan sebagai pengalaman berharga dalam menjalin hubungan yang jauh lebih baik. Karena kenangan masa lalu menjadi pengalaman untuk hubungan di masa depan.

Keadaan masa kini mempengaruhi keadaan masa depan. Fridolin mengigatkan pembaca (manusia) supaya sadar bahwa sabahat yang sedemikian adalah hanya Dia. Dia yang memampukan manusia untuk memaknai hidup dan mati. Menurut Fridolin hidup dapat menjadi kenangan. Fridolin menggunakan frasa ‘itu pun kian aus, diterpa waktu.’ Sedangkan percaya pada Dia dalam persahabatan berarti sesuatu ‘yang bertahan abadi.’

Dengan demikian menurut hemat penulis bahwa konsep Tuhan dalam puisi ini nampak pada bait awal puisi yang mendeskripsikan seseorang yang bermain musik untuk menghibur, memiliki hasrat, dan selalu bersukacita. Maka persahabatan yang baik akan menimbulkan kenangan baik antar manusia khususnya dengan Tuhan, maka bayangan buruk akan dilupakan.

2.2.5 Domba Paskah’[10]

Kata ‘dituding’ adalah perbuatan yang merugikan seseorang. Orang Yahudi menghukum Yesus karena sifat cemburu, dendam, dan dengki. Fridolin menggunakan frasa ‘ai, gampang sekali.’ Sementara simbol kristen dengan jelas digunakan kepada ‘si anak domba.’

Gambaran anak domba yang teraniaya dari frasa ‘si anak domba tak buka suara’ dan ‘semua ditimpakan dipundak-Nya’ adalah sesuatu yang dibebankan walaupun bukan kesalahannya.

Fridolin menjelaskan sikap orang Yahudi terhadap Yesus. Anak Domba dihakimi dengan sangat kasar dengan frasa ‘jari-jari berkuku tajam penuh bisa’ seperti ‘anjing-anjing kelaparan.’ Kata ‘dituding’ adalah sifat buruk manusia yang telah berpikir bahwa dia adalah pribadi yang paling benar. Kesalahpahaman tentang suatu ajaran mengakibatkan manusia dapat menghujat. Hal ini menyebabkan seseorang dapat membutakan matanya. Yesus dipandang seperti singa, serigala, penghujat, dan pendosa. Manusia salah dalam memaknai dirinya dan kepercayaannya.

Kembali Fridolin menjelaskan bahwa Yesus adalah si anak domba yang menanggung segala bencana. Dengan kecintaan-Nya pada semua orang, Ia rela di salibkan. Fridolin menggunakan frasa ‘terkaca segala sempurna: Cinta!’

Dengan demikian konsep Tuhan dalam puisi ini adalah Tuhan yang memiliki cinta kasih kepada manusia dengan rela menanggung segala siksa batin maupun fisik.

2.2.6 Anak Hilang’[11]

Pada bait pertama, Fridolin membuka pendahuluan dengan frasa ‘gelisah mudanya membawanya ngembara.’ Puisi ini ditulis Fridolin di Roma, pada musim panas tahun 1956. Kata ‘gelisah’ dan ‘ngembara’ adalah bentuk sebab akibat. Penyebab kehampaan cinta mengakibatkan seseorang berusaha menemukan kembali yang hilang. Pilihan orang muda adalah mengembara.

Fridolin memahami psikologi masa remaja dan atau orang dewasa yang cepat mengambil keputusan, walaupun keputusan tersebut berdampak tidak baik. Fridolin menggunakan frasa ‘sekali tak pernah ia terpikir,’ dan ‘yang ada akan sudah dipertiada.’ Di sini cinta merupakan sesuatu yang dapat memabukkan seseorang dalam mengambil keputusan.

Adapun akibat dari keputusan yang diambil secara cepat berdampak tidak baik. Fridolin menggunakan kata ‘kesedihan, keluh-kesakitan, dan meminta pengasihan.’ Keadaan ini berakibat seperti ‘menggeletak anjing kurus, menggonggong ngeri.’ Menurut penulis keadaan tersebut berkaitan dengan keberadaan seseorang yang sangat miskin seperti tidak memiliki suatu untuk dimakan, tidak ada tempat untuk bersandar, dan hidup di jalanan.

Ketidakmampuan seseorang dalam mengambil keputusan sangat berdampak tidak baik terhadap kehidupan terlebih dalam keberadaan dunia yang keras.

Fridolin menggunakan titik klimaks tersebut sebagai usaha menyadarkan. Penjelasan tersebut didukung dengan penggunaan kata ‘rindu' pada suasana sebelum seseorang mengambil keputusan untuk mengembara. Suasana harmonis yang diajarkan orang tuanya menjadi pilihan terakhir untuk pulang lihat frasa ‘Rindu kasih menggenggam hati.’ Menurut penulis, Fridolin merujuk pada sifat Bapa yang setia dan Maha pengasih.

Dengan demikian konsep Tuhan dalam puisi ini adalah Tuhan yang tidak akan pernah melupakan anaknya bahkan setia mengampuni ketika ia salah bertindak.

2.3 Analisis Unsur Sastra

Bagian ini adalah analisa puisi terhadap data-data tekstual untuk menggungkapkan konsep Tuhan secara utuh. Analisa sastra difokuskan pada peran dan sifat-sifat Allah dan dikaji sesuai tafsir sastra baik unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam hal ini penulis menggunakan teori semiotika.

Penulis melihat ada perbedaan konsep Tuhan dalam setiap puisi Fridolin Ukur. Menurut penulis perbedaan yang terlihat adalah ciri dari karya sastra puisi modern. Di mana sumber alur cerita jelas terlihat dari teksnya seperti unsur kesukubangsaan (dimensi etnisitas) dan unsur keagamaan (dimensi religiositas).[12]

Dimensi etnisitas merupakan bentuk umum dari karya sastra Indonesia. Sedangkan dimensi religiositas merupakan karya sastra yang digunakan sebagai penelitian dan kritik sastra. Dalam hemat penulis tema agama atau ke-Tuhanan merupakan unsur primordial dalam kesusastraan Indonesia modern. Baik dalam religiositas eksklusifisme tetapi juga religiositas pluralisme. Maka puisi menjadi media komunikasi yang berusaha membebaskan diri dari perwujudan mimpi Indonesia bersatu dan toleran terhadap kemajemukan.

Puisi-puisi Fridolin menggungkapkan konsep Tuhan dengan gaya bahasa yang sederhana. Pemahamannya tentang agama terkhusus iman Kristen ditulis dalam bahasa yang umum sesuai dengan kepercayaan agama pada masyarakat umumnya. Dengan demikian konsep Tuhan dapat dipahami dengan baik sebagai usaha memahami hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.

Puisi ‘Mati itu Untung,’ menekankan dimensi religiolisme bahwa Tuhan memberikan jaminan keselamatan kepada setiap orang percaya. Tesis singkat tersebut tersirat dalam puisi Fridolin yang mengajak pembaca untuk memahami sisi lain dari kematian yakni dari iman Kristen. Kematian bukanlah akhir dari kehidupan manusia yang percaya pada Tuhan akan tetapi masa di mana manusia akan menemukan kehidupan kekal bersama Dia. Dengan demikian kematian atas maut bukan sebuah kerugian tapi keuntungan.

Maka kematian tubuh biologis (fisik) dipahami sebagai pertemuan kekal manusia dengan Tuhan. Karena kematian pada prinsipnya adalah bagian dari ritus hidup yang harus dihadapi. Kematian adalah sesuatu yang 'biasa,' maka kematian bukanlah sesuatu yang 'menghebohkan.' Dengan kata lain dimensi religiositas tampak pada pemberi warisan kekal pada manusia untuk hidup kehidupan kekal.

Sama halnya dengan frasa ‘kematian adalah kepunahan.’ Manusia adalah debu yang siap kembali menjadi debu ketika berhadapan dengan kematian. Debu juga dapat dipahami sebagai ketidakberdayaan manusia. Ini berarti tidak seorang pun memiliki kuasa untuk menghentikannya. Oleh karena itu manusia membutuhkan Tuhan sebagai jalan keselamatan.

Dengan demikian manusia harus bertanggung jawab yakni turut serta dalam karya keselamatan sebagai relasi Tuhan di dunia baik dalam aktivitas spiritual maupun sosial.

Hal yang sama dapat dilihat pada puisi ‘Magnifikat.’ Gambaran seseorang dan keturunannya yang percaya untuk mengikut Dia. Puisi ini menggunakan alur yang sederhana dan organ dalam tubuh manusia, lihat ‘di dadaku membakar bara, ‘di tubuhku mengalir darah Hawa.’ Dalam kelemahaman manusia dituntut untuk belajar dari kesalahan Hawa yang mengakibatkan dada terbakar oleh bara. Dengan kata lain dimensi religiositas nampak pada rancangan keselamatan Tuhan kepada manusia yang berdosa. Di mana Hawa yang berdosa berbeda dengan tokoh wanita perawan yang telah diberi kesempatan untuk mengandung Putra Kudus. Oleh karena itu belajar dari kesalahan harus dimulai dari kesadaran akan kasih Allah yang tulus. Dimensi religiositas dalam puisi Tuhan adalah sumber kasih mesra dan kemurahan Tuhan yang digambarkan sebagai sosok yang agung, suci dan Maha murah hati.

Dalam puisi ‘Cinta yang Merah’ dimensi religoisitas ditekankan pada sifat Tuhan dalam menghapus segala gerah dari setiap wajah. Cinta adalah sesuatu yang membawa kebebasan dengan kata kerja menghapuskan, membasuh dan menjamah segala masalah yang dihadapi setiap orang dan berharap segera keluar dari masalah tersebut.

Gaya bahasa dalam puisi tersebut digunakan berbeda dari yang diharapkan. Kehadiran seseorang diharapkan untuk membebaskan masalah, terlebih seseorang yang dapat mendamaikan hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian dimensi religiositas dalam puisi tersebut menekankan sifat Tuhan yang penuh cinta dan kesetiaan pada pertobatan manusia. Kehadiran kemanusiaan Tuhan memberi teladan bagi setiap orang untuk siap menghadapi masalah yakni dengan cinta pengorbanan-Nya.

Dalam puisi Domba Paskah’ dimensi religiositas jelas menggunakan simbol kekristenan yakni Yesus yang dikorbankan atas kesalahpahaman orang Yahudi tentang Anak Allah. Yesus disimbolkan dengan singa, serigala, penghujat, dan pendosa. Walaupun Yesus adalah domba paskah yang teraniaya dari frasa ‘si anak domba tak buka suara’ dan semua ‘ditimpakan’ dipundak-Nya.’ Orang Yahudi menghakimi Yesus dengan sangat kasar seperti anjing-anjing kelaparan. Manusia salah dalam memaknai dirinya dan kepercayaannya.

Dalam hemat penulis bahwa Yesus adalah si anak domba yang menanggung segala bencana. Melalui kecintaan-Nya pada semua orang, Ia rela di salibkan. Fridolin mengajarkan dimensi religiositas sebagai Tuhan pemiliki cinta kasih yang tulus yang rela menanggung dosa manusia. Tuhan adalah teladan, Ia menyelamatkan dengan cinta kasih-Nya baik dalam teori dan praksisnya.

Dimensi religiositas yang sama terdapat pada puisi ‘Persahabatan.’ Persahabatan dianalogikan seperti cara bermain alat musik. Dalam persahabatan seni diperlukan untuk memahami sifat sahabatnya. Dengan pengertian dan pengenalan yang baik terhadap sahabat menjadi modal dalam menjalin hubungan yang lebih baik. Bukan hanya sementara tetapi juga setia mempertahankannya sampai masa yang akan datang. Fridolin mengigatkan bahwa persahabatan demikian hanya ada satu yakni bersama Yesus. Persahabatan yang memaknai hidup dan mati dengan baik.

Dengan demikian dimensi religiositas dalam puisi ini nampak pada Tuhan yang dapat bermain musik untuk menghibur, memiliki hasrat, dan selalu bersukacita. Yesus sebagai sahabat yang baik setia membawa dan memberikan kasih kepada manusia dikala dahaga.

Selain pusi persahabatan puisi ‘anak hilang’ dengan jelas menggambarkan dimensi religiositas. Tuhan selalu hadir sebagai sahabat yang memahami manusia baik ketika ia senang maupun ketika gelisah. Cinta berhubungan dengan kasih dan damai sejahtera. Maka ketika seseorang mengalami kehampaan cinta maka seseorang berusaha menemukan kembali yang hilang. Pilihan orang muda adalah mengembara dan keputusan tersebut berdampak tidak baik.

III. Penutup

Berdasarkan pemaparan analisia puisi di atas penulis menarik kesimpulan bahwa konsep dari dimensi religiositas puisi Fridolin Ukur adalah konsep agama yang pluralis di mana dogma Kristen masih menjadi tolak ukur dalam puisinya. Tuhan adalah pecinta sejati dalam kemanusiaan dan keilahian-Nya. Tuhan digambarkan dengan penuh keagungan dan kemuliaan.

Dengan demikian pembaca seharusnya melihat peran mereka setelah membaca yakni berkarya dalam komunitas agama seperti gereja maupun dalam masyarakat dalam kegiatan sosial.


[1] Di unduh dari http://cetak.kompas.com/12 Mei 2009 oleh Philip Simanjuntak pada hari sabtu, 17 April 2010, pukul 12.30 WIB. Kompas menjelaskan bahwa sejumlah teks sastra Indonesia lahir dari latar belakang tradisi kekristenan. Namun, unsur religiositas kristiani tersebut jarang dibahas dalam wacana penelitian publik dan kritik sastra Indonesia. Misalnya representasi Kristiani dalam nada mitos pembebasan dalam upacara karya Korrie Layun Rampan (1976), Romo Rahadi (1981), YB Mangun Wijaya (1999), Fridolin Ukur (1961), Sitor Situmorang dan WS Rendra yang tidak jarang menggunakan simbol kekristenan dalam puisi mereka.

[2] Di unduh dari http://www.sastra-indonesia.com/2009/05/kekristenan-dalam-kesusastraan-indonesia oleh Philip Simanjuntak pada hari sabtu, 17 April 2010, pukul 12.30 WIB.

[3] W.K. Wimsatt, M. C. Beardsly, The Intentional Fallacy, dalam D. Lodge, ed., 20th Century Criticism, (London & New York: Longman, 1972), hal 334-44.

[4] H. Bertens, The Basic Literary Theory, (London & New York: Routledge, 2001), hal.23.

[5] Di unduh dari website majalah tempo, http://www.pdat.co.id/ads/html oleh Philip Simanjuntak pada hari sabtu, 17 April 2010, pukul 12.30 WIB. Dalam hal menulis Fridolin telah menghasilkan dua kumpulan puisi yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta. Antara lain Malam Sunyi (1961), dan Darah dan Peluh (1962). Selain puisi Fridolin juga menulis buku seperti ‘Tuaiannya Sungguh Banyak,’ (2002). Buku yang secara garis besar berupaya mengungkapkan pergumulan para penginjil Barat itu yang kemudian dilanjutkan para pelayan gerejawi di Indonesia. Intinya menguraikan karya Tuhan yang amat besar di Indonesia. Selain itu ada juga beberapa puisi yang tidak sempat diterbitkan oleh penerbit dan dipublikasikan lewat website pribadinya yakni sembilan belas tulisannya ketika dirawat di rumah sakit. Lihat juga http://fridolinukur.org/

[6] Dr. Fridolin Ukur, Wajah Cinta, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hal.75

[7] Dr. Fridolin Ukur, Opcit. hal. 96

[8] Dr. Fridolin Ukur, Opcit, hal. 119

[9] Dr. Fridolin Ukur, Opcit, hal. 80 (bagian dua)

[10] Dr. Fridolin Ukur, idem, hal. 134

[11] Dr. Fridolin Ukur, idem, hal.

[12] Di unduh dari http://cetak.kompas.com/12 Mei 2009 oleh Philip Simanjuntak pada hari sabtu, 17 April 2010, pukul 12.30 WIB. Dijelaskan bahwa sejumlah teks sastra Indonesia lahir dari latar belakang tradisi kekristenan. Namun, unsur religiositas kristiani itu jarang dibahas dalam wacana penelitian publik dan kritik sastra Indonesia. Misalnya representasi Kristiani dalam nada mitos pembebasan dalam upacara karya Korrie Layun Rampan (1976), Romo Rahadi (1981), YB Mangun Wijaya (1999), Fridolin Ukur (1961), Sitor Situmorang dan WS Rendra yang tidak jarang menggunakan simbol kekristenan dalam puisi mereka.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005