Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

PAK Dalam Konteks Masyarakat Indonesia yang Majemuk

PAK DALAM KONTEKS MASYARAKAT INDONESIA YANG MAJEMUK


Abstrak

Pendidikan Kristiani adalah pendidikan agama yang memiliki visi syalom, pengajaran yang membebaskan manusia. Antone dan Kadarmanto menjelaskan sebagaimana pendidikan yang membebaskan tersebut dapat dipahami dan diejahwantahkan dengan baik dan benar sesuai dengan pelayanan Yesus dan konteks tradisi Yahudi saat itu. Hal-hal inilah yang menjadi poros dalam tulisan kedua tokoh di atas. Di mana kemajemukan dalam kehidupan masyarakat pada saat itu kembali dianalisa guna pendidikan masa kini. Pendidikan yang membebaskan mengajarkan kontekstualisasi bersumber pada dasar teologis, sosiologis, psikologis dari masyarakat itu sendiri.

Pembahasan

Dalam bab satu buku Pendidikan Kristiani Kontekstual, Hope Antone menjelaskan objek pembahasan pendidikan di benua Asia. Di mana benua Asia memiliki jumlah penduduk yang terpadat dan beragam baik segi budaya, bahasa, suku bangsa bahkan agama. Menurut Antone keberagaman tersebut merupakan paradoks, satu sisi menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat di Asia dan di sisi lain menjadi masalah atau konflik. Permasalahan tersebut dikarenakan keberagaman akan agama dan budaya yang telah menjadi realitas utama dalam kehidupan masyarakat. Hemat Antone bahwa kemajemukan agama dan budaya merupakan terbentuknya ‘Dunia Ketiga.’ Di mana di benua Asia terdapat lapisan dan aliran agama yang beragam dan saling berkait. Salah satu penyebab umum keberagaman tersebut adalah pernikahan antar agama dan perpindahan agama karena pergumulannya akan agama yang dimakna. Selanjutnya adalah keberagaman akan fakta keagamaan di Asia yang multiskriptural (banyak kitab suci). Masalah-masalah berkait yang bersifat umum diarahkan pada realitas lain dari konteks Asia seperti masalah kemiskinan, perjuangan dan penderitaan. Di sini Antone setuju dengan pandangan Aloysius Pieris yang mengatakan bahwa masalah kemiskinan sebagai sesuatu yang muncul dan pendorong ke arah Dunia Ketiga pada negara-negara di Asia.

Kemajemukan di atas menjadi persoalan terkait dengan masalah ketidakadilan sosial, politik dan ekonomi yang menjadi pemicu konflik agama maupun suku. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama di benua Asia telah mencakup segala sesuatu dari akar persoalan. Agama dilihat sebagai alasan untuk mendirikan negara baru yang disebut Dunia Ketiga. Padahal aspek persoalan tersebut lebih bersifat ketidaktahuan akan agama-agama lain, sikap intoleran dan kecurigaan dengan agama lain, serta bertumbuh sikap fanatisme dan fundamentalisme yang muncul dibeberapa kominutas.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa permasalahan di benua Asia di atas berkaitan dengan keinginan masyarakat Asia yang mendambakan hidup yang damai, aman, berlimpah dan bermanfaat. Agama yang memiliki visi akan kedamaiaan, keamanan, kelimpahan dan martabat tersebut menjadi jalan keluar akan permasalahan hidupnya. Maka agama dipelihara dalam setiap ajaran dan tradisi pada setiap komunitas umat.

Hal yang sama dapat dilihat pada masyarakat Kristen Asia. Ajaran agama dalam visi di atas telah berakar pada inti ajaran dan gaya hidup Yesus. Sementara itu di tengah kemajemukan yang di benua Asia masyarakat Kristen Asia menyadari bahwa hidup yang sesuai visi Yesus menjadi pedoman hidup yang menuntut mereka untuk mengenali apa yang Allah perlihatkan secara khusus sebagaimana berhubungan dengan masyarakat Asia lainnya.

Dalam hubungan di atas tugas dan tanggungjawab masyarakat Kristen yakni mengajarkan masyarakat lain akan kebenaran yang diajarkan Yesus. Di sini Antone kembali membandingkan penginjilan masa lalu dan kini. Antone mengatakan bahwa sebenarnya penginjilan tersebut telah ikut ambil bagian akan kesalahpahaman dan sikap permusuhan di antara masyarakat Asia yang memiliki kemajemukan tradisi agama. Daripada itu Antone mengusulkan sebagaimana masyarakat Kristen Asia untuk memperhatian teladan Yesus yang bersikap sesuai dengan kasih Allah. Misalnya memelihara sikap pemahaman terhadap diri sendiri maupun pemahaman akan yang lain, sikap menghormati diri sendiri dan orang lain, keramahtamahan, serta menanamkan kemitraan terhadap komunitas lain. Intinya Antone mengatakan bagaimana masyarakat yang dapat menghargai setiap perbedaan dan persamaan yang ada, serta dapat belajar untuk hidup dalam damai dan harmonis sebagai kesatuan ciptaan memiliki kemajemukan. Inilah keunikan manusia.

Selanjutnya Antone mengatakan bahwa konteks kemajemukan di atas kemudian membentuk teori pendidikan di benua Asia. Teori pendidikan yang telah menjadi suatu bingkai penuntun akan penyelenggaraan pendidikan telah memetakan pendidikan yang dilaksanakan, menggambarkan tujuan, menjelaskan dasar-dasar pendidikan, serta menganjurkan bentuk praksis yang sesuai dengan persoalan masyarakat yang dihadapi. Di sini Antone menekankan tugas dan tanggungjawab negara, para penyusun teori serta praktisi pendidikan agar memperhatikan arah dari teori pendidikan agama serta bagaimana pendidikan tersebut menjadi jalan keluar akan masalah dan kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan kemajemukan agam dan budaya khususnya di benua Asia.

Di benua Asia telah berkembang asumsi bahwa teori pendidikan yang kontekstual yang sesuai dengan konteks partikular yakni bersifat dinamis dan tidak statis, serta pendidikan yang dapat merespon dengan segera dan tepat. Pendidikan yang dinamis artinya teori yang dapat diubah, dimodifikasi, dan mutakhir sesuai masanya. Dengan kata lain teori pendidikan kontekstual berarti siap mengakui dengan rendah hati akan keterbatasan upaya yang telah ada, baik itu persepsi, konsepsi, artikulasi, dan analisis yang dibentuk oleh kemampuan fisik dan psikologis manusia sesuai dengan konteksnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan dalam teori pendidikan harus bersifat kontekstual. Pendidikan yang berkembang harus dapat merespon kebutuhan yang dari konteks tertentu. Di sini letak dari keunggulan teori pendidikan yang bergantung pada bentuk relevansi teori dan kelayakan akan konteks tertentu. Intinya tidak ada teori yang dapat dikatakan statis yang mengakibatkan konflik atau ketidakpuasan akan suatu pendidikan. Seperti yang dikatakan John Dewey dalam pendidikan yang paradoks di mana pendidikan yang sehat harus dipengaruhi oleh konflik dan kebangkitan gerakan sosial, di sisi lain pendidikan bukan merupakan sarang konflik. Dengan demikian pendidikan harus dapat menganalisa setiap pekerjaan serta perkembangan pendidikan yang cerdas yakni memastikan penyebab konflik, menganalisa, kemudian menyusun rencana operasional yang tepat. Di sini Antone mengabungkan pendidikan yang bersifat historis dari pendidikan kekinian yang disebut Christian Education dan Religious Education.

Lanjut Antone bahwa akar pendidikan Kristiani berasal dari kebudayaan Ibrani atau Yahudi. Di mana kebudayaan manusia pada saat melihat pendidikan untuk mempertahankan hidup, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat lebih luas. Pendidikan di sini mencakup pelatihan dasar kemampuan untuk bertahan hidup, penanaman nilai-nilai komunitas, dan pewarisan nilai-nilai budaya. Seperti dalam peride utama Alkitab yakni periode sebelum pembuangan pre-exilic, periode sesudah pembuangan post-exilic dari masa Perjanjian Lama dan periode Perjanjian Baru. Selanjutnya pendidikan Kristiani juga dapat dilihat dari cara Yesus dan cara murid-murid. Akan tetapi cara dari keduanya dibedakan karena ada pergeseran nyata dalam isi dan perilaku pendidikan. Di mana Yesus berpusat pada Kerajaan Allah dalam masyarakat-Nya sendiri. Misalnya Yesus mengajar dan khotbah, menyembuhkan orang sakit, mengusiran setan sebagai pelayanan kebutuhan manusia.

Hal ini berbeda pada periode Patriastik maupun yang terjadi pada abad pertengahan. Pelembagaan agama Kristen sebagai agama Negara menimbulkan masalah baru pendidikan Kristiani. Seperti baptisan masal yang menimbulkan masalah tersendiri karena tidak melalui tahap pendidikan yang sesuai denga ritusnya.

Dalam perkembangannya ungkapan pendidikan agama terdapat beberapa istilah yang digunakan. Mary Boys menggunakan pendidikan Kristiani pada masa pencerahan. Jonathan Edwards dari kaum evangelikal dan revivalisme pada tahun 1800an maupun Karl Barth dan Rudolf Bultmann menekankan pertobatan perasaan dan pengalaman akan keberadaan Kristus. Selain itu dari Gilbert Albert Coe, Walter Rauschenbach dan John Dewey menyebutnya dengan pendidikan agama. Hal ini dipengaruhi konsep teologi liberal dan pendidikan progresif. Penekanan diarahkan pada pengalaman manusia, pertumbuhan iman dan rekonstruksi tatanan sosial. Intinya harapan yang metafisik tidak dapat diterima. Selain itu bentuk lainnya pendidikan Katolik yang disebut juga katekese yang menekankan kepedulian iman kepada masyarakat. Selanjutnya bentuk lainnya yakni pendidikan agama ekumenis yang mengupayakan kesatuan gereja. Bentuk terakhir adalah pendidikan agama multikultural. Di sini gereja sampai pemahaman bahwa gereja dengan budaya minoritas mengakui identitasnya sebagai kaum minoritas di tengah kaum mayoritas. Melalui pendidikan multikultural ini, diharapkan gereja mampu membuka diri.

Dengan demikian jelas dapat dipahami bahwa perbedaan antara pendidikan Kristiani dan Pendidikan Agama yakni pendidikan Kristiani menekankan untuk mempromosikan kembali teologi neo-ortodoks yang merujuk pada Alkitab sebagai landasan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan waktu. Intinya pendidikan Kristiani mengedepankan nilai-nilai Kristiani dalam pelaksanaan pendidikan. Seperti pandangan Mary Elizabeth Moore yang melihat kedua penamaan di atas sama yakni menekankan kebutuhan perubahan yang signifikan serta kebutuhan yang berkesinambungan dan penentuan warisan. Gabriel Moran berpendapat bahwa pendidikan tersebut agama atau Kristiani adalah sesuatu yang harus dipelajari masyarakat Kristen guna mengetahui cara memelihara hubungan yang baik antara orang-orang yang berbeda kepercayaan.

Dalam penggunaan nama pendidikan Agama guna melihat permasalah dalam konteks itu sendiri yakni adanya pluraitas agama. Gabriel Moran, Norman H. Thompson, dan John Westerhoff yang mengusulkan bahwa pendidikan agama harus menghadapi persoalan objektivitas, muatan, metodologi, dan konteks. Salah satu solusi untuk permasalahan tersebut adalah WCC dan CCA melakukan program dialog antar iman dan antar agama. Hal ini sesuai dengan permasalahan kemajemukan yakni pluralisme agama di Asia.

Dengan demikian Antone mengusulkan pendekatan Teologis dan Edukatif terhadap kemajemukan yakni membuat semacam tipologi guna membedakan sikap dari agama terhadap kemajemukan tersebut. Antara lain ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Dalam analisa John Hick mengatakan bahwa ekslusivisme berarti menjadikan arogansi agama; Inklusivisme berarti memberi ruang kepada agama lain akan keberagaman; dan pluralisme berarti mengadakan kesetaraan dan keterbukaan pada setiap agama.

Selanjutnya Antone kembali menjelaskan hubungan Alkitab dengan pluralisme. Di mana pengalaman dan pelayanan Yesus dan lingkungan masyarakat Yahudi menjadi poros dalam bagian ini. Antone mengutip pandangan Niebuhr bahwa ada kecenderungan orang Kristen untuk mengklaim kebenaran yang mutlak dari penafsiran Alkitab yang normatif. Niebuhr mengatakan hal ini sebagai suatu kejahatan dalam hidup. Selain itu pengutipan ayat Alkitab yang berlebih telah mengabaikan rangkaian utuh dari narasi Alkitab.

Oleh karena itu, Antone mengusulkan cara memahami Alkitab tentang pluralisme yakni belajar dari sikap Yesus dalam berhubungan dengan orang lain khususnya menghadirkan syalom. Seperti dalam Lukas 8:21 Yesus mengatakan ‘Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku.’ Di sini identitas tidak dibatas pada suatu komunitas tapi kepada semua orang yang percaya, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, suku dan kondisi ekonomi.

Refleksi

Menurut hemat penulis, tulisan Antone dan Kadarmanto yang mengambil objek pembahasan pada konteks Asia khusus Indonesia yang memiliki kemajemukan. Hal ini mengajarkan bagaimana memahami pendidikan agama dan Kristiani itu secara mendasar. Dengan kata lain permasalah penginjilan dan pelaksanaan pendidikan tidak serta merta pada satu aspek tapi muli-aspek. Dengan demikian pendidikan agama dan Kristiani seharusnya dikembalikan pada pemahaman akan suatu kebenaran Alkitab yang bertanggungjawab dan menghargai pemahaman, gagasan yang lain.

Sementara itu pendidikan agama dan pendidikan Kristiani adalah sesuatu yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Di mana pendidikan agama yang melihat konteks kemajemukan dalam masyarakat dan dapat menyelesaikan isu-isu kemanusiaan. Di sisi pendidikan Kristiani juga dapat mengembangkan proses pertumbuhan suatu komunitas iman dalam kemajemukan.

Dimensi Kontinuitas - Diskontuinitas Teologi Anak Manusia

Dimensi Kontinuitas - Diskontuinitas Teologi Anak Manusia


Abstraksi

Anak Manusia adalah sebutan yang mengacu pada kedudukan seseorang yang memiliki otoritas untuk menyampaikan suatu pesan dari Allah pada manusia. Alkitab menyebutkan Anak Manusia dalam kerangka yang berbeda-beda dan dalam hemat penulis bermakna luas seperti menunjuk pada kemanusiaan Yesus walaupun bukan suatu penyangkalan terhadap ketuhanan-Nya. Hal ini adalah bentuk penjelmaan Kristus sebagaimana Yesus dengan tegas menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan dalam berbagai kesempatan dan sebagai manusia. Dengan kata lain Anak Manusia mempunyai dua hakikat dalam keilahian dan manusiawi yang menyatu dalam satu pribadi. Istilah Anak Manusia digunakan dalam Alkitab dalam konteks keilahian Kristus. Sebagai contoh dalam Yesaya 43:25 dan Markus 2:7 tertulis hanya Allah yang dapat menghapus dosa. Akan tetapi sebagai 'Anak Manusia' Yesus mempunyai kuasa untuk menghapus dosa dalam Markus 2:10. Dengan kata lain Anak Manusia sebagai sebutan Yesus menunjukkan bahwa Yesus sendiri menggunakan istilah 'Anak Manusia' untuk menyatakan keilahian-Nya sebagai Anak Allah. Dan sebagai bentuk penjelmaan dan karya keselamatan-Nya.

I. Pendahuluan

Tema Anak Manusia adalah wacana yang menarik pada saat kini terlebih bila dikaji dari sudut biblis. Dalam pandangan umum, konsep Perjanjian Baru (selanjutnya PB) tentang istilah Anak Manusia terlihat lebih jelas dan lebih mudah dipahami daripada Perjanjian Lama (selanjutnya PL). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menjelaskan bahwa Anak Manusia dalam PB tampak dari ucapan Yesus sebagai Anak Manusia untuk menerangkan watak dan misi-Nya. Walaupun perkataan Yesus tersebut didasarkan pada wahyu Daniel dalam Daniel 7:13.[1]

Sementara dalam PL, konsep istilah Anak Manusia mengacu pada keberadaan seseorang manusia yang berbeda dari Yesus, seperti sapaan Allah kepada Yehezkiel yang disebutkan sembilan puluh kali.[2] W.R.F Browning menjelaskan bahwa sapaan tersebut mengacu pada sebutan umat Israel yang dipertentangkan dengan binatang supranatural dalam simbol kebudayaan dari bangsa-bangsa sekitar. Dengan kata lain sapaan umat manusia pada umumnya yakni sebagai yang utama dari seluruh ciptaan.[3] Seperti perumpamaan Henokh bahwa Anak Manusia adalah makhluk surgawi atau tokoh supranatural yang memerintah atas suatu kerajaan yang universal di mana terdapat pelaksana keselamatan dan penghakiman.[4]

Dengan kata lain sapaan tersebut lebih ditujukan pada keberadaan seorang yang memiliki jabatan seperti nabi yang diutus oleh Tuhan lihat Yehezkiel 2:5, 33:33; bdk. Daniel 8:17. Demikian yang didefenisikan M.G. Easton dalam tiga bagian yakni bahwa Anak Manusia berarti tanda umat manusia yang secara umum mengacu kepada kelemahan manusia (lihat Ayub 25:6; Mazmur 8:4; 144:3; 146:3; Yesaya. 51:12, dll.); sebutan yang sering mengikuti nabi Yehezkiel untuk mengingatkan kelemahannya; serta mengacu pada sebutan juruselamat dalam Perjanjian Baru yang digunakan 43 kali dan Perjanjian Lama digunakan dalam Mazmur 80:17 dan Daniel 7:13, dst. Dengan kata lain Anak Manusia adalah manusia sempurna dari Tuhan (Ibrani 2:14; Lukas 24:39).[5] Dengan demikian mengetahui tafsiran istilah Anak Manusia, maka dapat memahami pengajaran Tuhan yang pusat pada pribadi dan misi-Nya.[6]

Berdasarkan data di atas penulis akan menjelaskan teologi Anak Manusia dalam PL dan PB guna menemukan teologi Anak Manusia secara utuh yakni dalam kontinuitas dan diskontinuitas teologi Anak Manusia.

II. Pembahasan

2.1 Anak Manusia Dalam Perjanjian Lama

Istilah Anak Manusia dalam PL memiliki permasalahan filosofi dengan tradisi Yudaisme khusus dalam kitab Apokaliptik yang melihat dalam konsep eksklusif.

Dalam Alkitab Ibrani, istilah Anak Manusia mengacu pada kata manusia 'a4d{a4m atau 'eno=s] yang berarti istilah kolektif manusia. Menurut Koehler-Baumgartner bahwa setiap manusia disebut ben 'a4d{a4m dan sejumlah manusia disebut benê 'a4d{a4m atau beha4'a4d{a4m.[7] Menurut Alan Richardson ben 'a4d{a4m sinonim dari ben 'eno=s adalah bahasa semitis untuk manusia yang biasanya digunakan sebagai jabatan nabi.[8]

Dalam kitab Yehezkiel, istilah Anak Manusia secara langsung mengacu pada nabi Yehezkiel yang disebutkan 90 kali. Menurut W. Zimmerli bahwa kitab Yehezkiel secara menyeluruh ditulis dengan idiom Ibrani yakni parallelismus membrorum misalnya Allah sendiri berkenan bersama-sama dengan hamba-Nya seperti dalam Daniel 8:17. Maka kenabian Yehezkiel sebagai Anak Manusia tidak berarti menjelaskan keberadaannya sebagai nabi tetapi sebagai makhluk yang menggambarkan kelompok manusia yang berhubungan dengan Allah.[9] Dengan kata lain Anak Manusia memiliki peran dalam sejarah keselamatan, penulis termasuk konsep mesias dalam Yehezkiel. Dalam kesimpulan Lassor mengatakan Anak Manusia menggenapi penglihatan Daniel.[10] Dalam penjelasan S.M.Siahaan yang mengutip pendapat H.Haag bahwa peran mesias dalam hubungan dengan Allah, bahwa Yehezkiel tidak menganggap mesias bekerja atas nama Allah untuk menyatakan keselamatan tetapi membawa teologi para imam sebagai satu-satunya sumber keselamatan eskatologis. Teologi yang menggarisbawahi peranan Yahweh di tengah bangsa-Nya yakni membawa kebahagiaan orang-orang Israel yang takut akan Allah (bdk. Mazmur 34; 137).[11]

Hal yang berbeda tampak dalam kitab Ibrani Mishnaik, istilah Anak Manusia ben 'a4d{a4m mengacu pada jenis dan sifat manusia pada umumnya. benê 'a4d{a4m atau dari manusia dalam penciptaan berî'o=t{.

Dalam kitab Aram, istilah Anak Manusia juga digunakan pada keb{ar 'ena4s dalam Daniel 7:13. Kitab Daniel adalah satu dari beberapa kitab Apokaliptik yang melihat istilah Anak Manusia memiliki masalah fundamental. Dalam narasi pasal 7, kata sambung seperti ke adalah bentuk sindiran perbandingan yang mengacu pada kata binatang buas yang digambarkan sebelumnya seperti golongan Anak Manusia. C. Colpe menjelaskan bahwa latar belakang Daniel 7 adalah mitologi Kanaan di mana dewa Baal menunggangi awan-awan dan menggantikan El, dewa tertinggi sebagai penguasa. Dengan kata lain konsep Anak Manusia dalam Daniel tidak berhubungan dengan sejarah bangsa-bangsa sekitar.[12] Otto Kaiser menjelaskan bahwa hubungan tersebut dalam sudut pandangan penghakiman atas bangsa-bangsa dari gagasan hari Tuhan ‘day of Yahweh.’[13]

Dalam tradisi Apokaliptik istilah Anak Manusia mengacu pada penglihatan dalam Daniel 7:13 dan 8:26. Di mana kata binatang buas tidak berarti membinasakan, tetapi sama seperti Anak Manusia yang datang dengan awan-awan dari langit. Dengan kata lain penglihatan Daniel tentang Anak Manusia mengacu pada teokrasi Israel yaitu adanya perbedaan antara kerajaan Allah dan kerajaan dari sebuah negara. Seperti dalam penjelasan ayat 18 yang menyebutkan bahwa pemilihan Allah pada orang-orang kudus untuk memerintah kerajaan-Nya (bdk. Daniel 7:22a,25,27).

Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa istilah Anak Manusia berhubungan dengan konteks sejarah dalam narasi Daniel yakni terjadinya krisis keadilan dan perpindahan kuasa Anak Manusia kepada kaum yang teraniaya. Seperti perpindahan Anak Manusia ke dalam orang Israel. Dengan kata lain apokaliptik Daniel ingin menghubungkan konteks sosial, iman dan penghakiman komunitas yang tidak percaya dan menyimpang dari perintah Allah melalui Anak Manusia.

Demikian dalam kitab Enokh 46:8; 53:6; 62:8 penggunaan istilah Anak Manusia memiliki kesejajaran dengan narasi dalam kitab Mazmur,[14] kitab Yesaya dan Daniel 7:9. Istilah Anak Manusia tampil sebagai figur eskatologi, seseorang yang diharapkan dalam suatu komunitas. Seperti sebuah jabatan nabi dalam fungsi eskatologis atau sebagai guru apokaliptik yang mengajarkan pertobatan. Maka pengharapan Anak Manusia bersifat mesianik. Menurut Barnabas Ludji, Yesaya 11:1 sosok mesianik yang diharapkan bukan dari kerajaan yang besar dan mulia melainkan keluarga yang sederhana, seperti pemilihan Daud sebagai raja. Dengan kata lain Anak Manusia dalam figur Mesias menekankan kepemimpinan yang berhubungan dengan Roh Tuhan.[15]

Kitab Henokh adalah wakil kebenaran dan hikmat Allah mengatakan bahwa Anak Manusia adalah tersembunyi dihadapan Allah dan terdapat dalam ciptaan dunia. Maka Anak Manusia adalah mesianik yang berjuang dengan raja dan kuasa-kuasa untuk mencapai kemenangan. Penggambaran mesianik tersebut adalah penggambarkan makhluk sorgawi dan gelar untuk Anak Manusia.[16] Sementara itu Anak Manusia juga dilihat sebagai roh Allah dalam Enokh 70-71 bdk Kejadian 5:22-24.

Hal yang sama dalam tradisi Apokaliptik Ezra yang melihat kesejajaran dengan teks Daniel 7 dalam tradisi Henokh bahwa Habel, Henokh dan Melkisedek adalah perwakilan kebenaran Allah dan Melkisedek diberkati dengan sifat mesianik. Di sini motif Anak Manusia tidak tertulis tetapi dapat dipahami secara tersirat bahwa dalam fungsi Anak Manusia berarti sama dengan utusan atau malaikat.

Dengan hemat penulis bahwa konsep Anak Manusia dalam Daniel 7 adalah sosok figur mesianik yang tersirat. Sedangkan dalam Henokh 70 yang sejajar dengan Daniel 7 menggambarkan Anak Manusia sebagai wakil dari suatu kebenaran yang membawa damai sejahtera dan keselamatan atas komunitasnya. Seperti pandangan Leon Morris bahwa figur Anak Manusia membuka hubungan dengan Allah dan berdaulat atas umat manusia.[17]

Dalam kesimpulan C. Vriezen bahwa doktrin Anak Manusia dalam Daniel 7:13 adalah kesatuan jamak dari orang-orang kudus dalam status raja. Akan tetapi dalam waktu kemudian Anak Manusia merujuk pada sosok mesias seperti dalam kitab Henokh dan Ezra.[18] Demikian menurut Rowlley mengatakan bahwa konsep Anak Manusia yang berasal dari kata ben adam adalah suatu kerajaan mesianik di mana status raja adalah figur dari Anak Manusia. Lebih lanjut Rowlley mengatakan bahwa nubutan tentang Anak Manusia berhubungan dengan Yesus dalam PB. Yesus menjadi penggenapan Anak Manusia dalam PL.[19]

2.2 Anak Manusia Dalam Perjanjian Baru

Menurut Samuel Hakh istilah ‘Anak Manusia’ berasal dari kata ibrani benê 'a4d{a4m; Aram benê 'ena4=s; Yunani ho hyios tou anthro4pou dan dalam Alkitab terjemahkan utama adalah seseorang.[20] Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Anak Manusia dalam PB sangat dipengaruhi oleh aspek sosial budaya PL.

Dalam Injil Markus istilah Anak Manusia terlihat jelas. John Drane mengatakan bahwa Yesus secara langsung menyebut diri-Nya sebagai Mesias (Markus 14:62).[21] Penggunaan istilah Anak Manusia sebanyak empat belas kali yakni Markus 2:10,28; 8:31, 38; 9:9, 12,31; 10:33, 45; 13:36; 14:21, 41, 62. Istilah yang mengacu pada keberadaan Yesus yang futuris sebagai penguasa dan hakim. Menurut Samuel Hakh bahwa aktivitas Anak Manusia di atas dilihat sebagai figur seseorang yang memiliki kuasa mengampuni dosa dalam Markus 2:10 dan Tuhan atas hari Sabat dalam Markus 2:28. Lebih lanjut Samuel mengatakan bahwa Anak Manusia juga digambarkan sebagai hamba yang melayani, menderita dan mati.[22] Menurut penulis bahwa penderitaan Anak Manusia sesuai dengan konteks sosial penulisan Markus. Anak Manusia adalah Yesus yang menderita.

Dalam Matius istilah Anak Manusia berhubungan dengan penderitaan Yesus dalam Matius 12:40; 26:21 termasuk istilah Anak Manusia dalam Injil Markus kecuali Markus 8:31; Aktivitas Yesus dalam Matius 8:20; 11:19; 12:32; 13:37; 16:13; dan Kedatangan Anak Manusia di masa depan dalam Matius 10:23; 13:41; 16:28; 19:28; 24:27, 30, 39, 44; 25:31. Dalam hemat Samuel Hakh mengutip Peter Head bahwa perbandingan Injil Markus dengan Matius dalam penggunaan istilah adalah dominasi istilah yang digunakan Matius lebih banyak dari pada Markus, di mana penekanan Matius adalah ke-akan-an dari kedatangan Anak Manusia atau bersifat kronologis eskatologis. Samuel Hakh mengutip gagasan Luz bahwa kedatangannya sebagai hakim.[23]

Sementara gagasan eskatologi Matius dalam istilah Anak Manusia terdapat pada Matius 13:39, 49; 24:3. Anak manusia berhubungan dengan sifat mesianik Yesus. Matius menekankan bahwa penampilan masa depan Yesus sebagai Anak Manusia yang memimpin penghakiman akhir. Menurut Johnson bahwa Injil Matius menekankan kemesiasan Yesus sebagai keturunan Raja Daud dalam Matius 1:16. Kristus dalam teks tersebut mengacu pada Yesus di dalam status yang dibangkitkan dan akan datang pada parousia.[24]

Dalam Lukas menurut Samuel Hakh, istilah Anak Manusia mengacu pada Injil Markus dan sumber Q. Adapun teks yang mengunakan istilah Anak Manusia dan sejajar dengan Injil Markus dan Matius adalah Lukas 12:8-9; 12:10; 6:22; 17:22, 30; 18:8; 19:10; 21:36; 22:22; 22:48; 24:7. Menurut Stefan Leks kesejajaran dalam narasi tentang karya Yesus, kepergian Yesus ke Yerusalem, dan penggenapan misi Yesus di Yerusalem.[25] Kesimpulan Samuel Hakh bahwa teks-teks tersebut menekankan tema teologi Anak Manusia dalam penyelamatan, penderitaan, kedatangan dan kemuliaan.[26]

Dalam hemat penulis Injil Sinoptik yang menggunakan istilah anak Manusia terbagi dalam 3 kelompok yaitu: Anak Manusia dalam pelayanan di dunia, Anak Manusia dalam kehinaan dan kematian, Anak Manusia datang dalam kemuliaan apokaliptis untuk menghakimi manusia dan menggenapi Kerajaan Allah. Inilah istilah Anak Manusia yang terkait dengan tugas prerogatif Allah, yaitu mengampuni dosa, Anak Manusia yang menderita, serta Anak Manusia yang mempunyai kuasa untuk menghakimi.

Dalam tradisi Paulus, istilah Anak Manusia jelas terlihat dalam konsep manusia sorgawi yang berbeda dengan manusia dunia dalam 1 Korintus 15:47. Konsep tersebut dibangun dalam teks Apokaliptik di mana doktrin keselamatan dalam PB disesuaikan dari PL. Doktrin keselamatan yang didasari pada figur dari Anthro4pos. Seperti yang digunakan Paulus dalam 1 Korintus 15:27 bdk Mazmur 8:7. Di sini Paulus memberi makna baru pada peristiwa penyelamatan dalam gagasan Apokaliptik yang sesuai dengan konteks Hellenistik (bdk Roma 5:12-21).

Dalam Surat Ibrani istilah Anak Manusia dalam 2:6-8 sejajar dengan Mazmur 8:5-7. Ibrani membedakan manusia dan Anak Manusia dalam proses sejarah keselamatan sebelum mereka memerintah sorga. Hubungan manusia dan Anak Manusia adalah hubungan yang didasari pada kebutuhan yang merujuk pada hidup Yesus dan seperti menekankan tujuan akhir Yesus yang belum tercapai dalam Ibrani 2:8. Hal yang sama terlihat dalam Yohanes 1:51, di mana komunitas orang percaya akan melihat kedatangan Anak Manusia. Menurut Colpe, surat Ibrani membedakan antara Yesus dari kekuasaan malaikat sesuai ajaran Apokaliptik tentang sejarah keselamatan.[27] Pembedaan ini didasari pada kemuliaan dari sesuatu yang bertentangan dari Allah yang hina. Leivestad mengatakan konsep tersebut telah berakar kuat dalam Injil Lukas tentang penghakiman dan parousia sesuai dengan KIS 7:56 yang ditafsirkan dalam konteks Helenisasi.[28]

Dalam penafsiran C.K.Barrett bahwa Yesus menerima Stefanus dalam kemuliaan sorga sebagai antisipasi parousia untuk setiap orang Kristen.[29] Sementara C. F. D. Moule mengatakan bahwa Yesus mendukung Stefanus sebagai saksi dalam pengadilan sorga dalam roh dari Lukas 12:8.[30] Colpe melihat hal berbeda, bahwa sikap Yesus dalam KIS 7:56 sama dengan Yesaya 14:22 dan Mazmur 3:8, 7:7, bahwa sikap Allah berdiri mengacu pada orang Samaria.[31]

Dalam kitab Wahyu istilah Anak Manusia dalam 1:13 dan 14:14 yang memiliki kesejajaran dengan PL dalam Daniel 7:13 ‘seperti Anak Manusia yang berjalan dan duduk di atas awan-awan langit.’ Istilah tersebut menggambarkan figur yang berbeda antar yang terdapat dalam injil dan wahyu bahwa Anak Manusia yang dihubungkan dalam konteks penulisan Wahyu. Anak manusia pada Apokaliptik Wahyu mengacu pada Yesus sebagai raja dan hakim yang dimuliakan sesuai dengan Daniel 7:13, di mana orang Aram dan tradisi Ibrani dipelihara. Bahkan malaikat pun ikut mengaku dalam Wahyu 14:15 bdk Daniel 10:5. Dengan kata lain konsep Anak Manusia dalam Wahyu berusaha membangun konsep Kristologi anak domba pada konteks tradisi sosial Wahyu yang berbeda.

III. Refleksi Teologis

Anak Manusia dinyatakan Allah melalui utusan seperti nabi maupun Yesus sebagai Allah yang manusiawi. Dalam kehidupan Anak Manusia memiliki tujuan yakni menjadi perantara Allah dalam menghadirkan kedamaian dalam komunitas tertentu. Seperti Yesus sebagai Anak Manusia yang membawa persekutuan kasih Allah kepada setiap orang yang percaya pada-Nya.

Sementara kedudukan Yesus Perjanjian Baru dengan jelas dikatakan sebagai manusia sejati dan manusia ilahi. Dengan kata lain Yesus sebagai Anak Manusia yang mengetahui keberadaan Allah yang transenden dan orang harus memandang Yesus sebagai Anak Manusia yang disalibkan dan Allah yang disalibkan.

Di mana Anak Manusia dalam kemanusiaan-Nya berada dalam kumpulan orang-orang berdosa, malang, sakit, cacat, dan sampah masyarakat. Ia mengampuni dosa manusia dan memberi kelegaan. Semua penderitaan manusia dijumpai di dalam Anak Manusia yang disalibkan.

Dalam kontinuitas teologi Anak Manusia penulis menyimpulkan bahwa PL dan PB mengacu pada utusan Allah yang diwakili oleh nabi maupun Yesus. Yesus dipahami sebagai penggenapan istilah Anak Manusia dalam PB, dan kerygma dari istilah Anak Manusia yaitu figur manusia yang ilahi.

Sedangkan diskontuinitas PL dan PB terletak latar belakang kitab yang menggunakan istilah Anak Manusia dan tujuan penulisan kitab. Seperti pesan yang terdapat pada istilah Anak Allah dalam Daniel yang dijadikan acuan dalam kitab lainnya. Anak Allah adalah bentuk sapaan Allah pada umat manusia yang dipilih sebagai simbol keberadaan Allah di dunia, seperti sapaan pada nabi Yehezkiel maupun raja-Mesias maupun dalam Daniel sosok seseorang yang diharapkan untuk mendatangkan syalom. Walaupun dalam PL tidak terlalu jelas merujuk pada seorang pribadi ataupun golongan umat percaya, baik bersifat kekinian maupun keakanan. Sementara dalam PB istilah Anak Manusia dengan jelas merujuk pada sosok Yesus, Anak Allah dalam kemanusiaan dan keilahian.


[1] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2002), hal.586. Lihat Markus 8:38, 13:26; 14:62; Lukas 17:24; 21:27, dll.

[2] Samuel Benyamin Hakh, Pemberitaan tentang Yesus menurut injil-injil sinoptik, (Bandung: Jurnal info media, 2007), hal.159

[3] W.R.F Browning, (terj) Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal.22

[4] W.S Lassor, dkk, Pengantar Perjanjian Lama 2: Sastra dan Nubuatan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal.425-6

[5] M. G. Easton, Illustrated Bible Dictionary Third Edition, (Harper & Brothers, 1903)

[6] Alan Richardson, An Introduction The Theology of The New Testament, (London: SCM Press LTD, 1961), hal.128.

[7] L. Koehler and W.Baumgartner, Lexicon in Veteris Testamenti Libros, 1958, hal.12.

[8] Alan Richardson, idem, hal.128-30.

[9] W. Zimmerli, Ezechiel, BKAT XIII/I, 1959, hal.70. bdk Bilangan 23:19; manusia 'eno=s] memiliki kesadaran dan Anak Manusia ben 'a4d{a4m ketaatannya ke arah Allah pencipta dalam Mazmur 8:4-5.

[10] W.S Lassor, dkk, Op.cit, hal.303.

[11] S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hal.39-40.

[12] C. Colpe, TDNT VIII hal.406-30. Seperti figur gayomart dalam Avestas, adapa dalam literatur Babel, dewa matahari dalam mitologi Mesir, adam dalam pemikiran para rabi dan manusia utama dalam ajaran gnostik.

[13] Otto Kaiser, Introduction to the Old Testament, (Oxford: Basil Blackwell Ltd, 1984), hal.315-6.

[14] Misalnya 80:8-16 bdk 110:1, istilah Anak Manusia digambarkan dengan anggur dan kebun anggur yang mengacu pada perjanjian Allah terhadap Israel. Di sini Anak Manusia ben 'a4d{a4m digunakan spesifik pada orang pilihan yaitu raja.

[15] Barnabas Ludji, Kerajaan Mesias: Telaah kritis kitab Amos, Yesaya dan Mikha, (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STTJ, 1999), hal.10-2.

[16] Bdk Colpe, TDNT VIII hal.423-7,

[17] Leon Morris, New Testament Theology, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1990), 101-2

[18] Th. C. Vriezen An Outline Old Testament Theology, (Oxford: Basil Blackweel, 1966), hal.367

[19] H.H.Rowley, The Old Testament and Modern Study, (London: Oxford University Press, 1967), hal 306-7. bdk 330-1

[20] Samuel Benyamin Hakh, Op.cit. hal.159.

[21] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hal.74.

[22] Samuel Benyamin Hakh, ibid, hal.159-60.

[23] Samuel Benyamin Hakh, ibid, hal.163-4. bdk Peter M.Head, Christologi and the Synoptic problem, an argument for Markan priority, (Cambridge: University Press, 1997), hal.227-8. bdk U.Luz, ‘The Son of Man in Matthew: Heavenly judge or human Christ?’ JSNT 48, 1992, hal.3-21.

[24] M.D.Johnson, The Purpose of Biblical Genealogies, with Special Reference to the Setting of the Genealogies of Jesus, Society for New Testament Studies Monograph Series 8, 1969, hal. 222 bdk K. Stendahl, Peake Commentary on the Bible, 1962, hal.770.

[25] Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal.14-5.

[26] Samuel Benyamin Hakh, Op.cit, hal.166-7; 171-4. bdk Jack Dean Kingsbury, Matthwe Proklamation Commentaries, (Philadelphia: Fortress Press, 1986), hal.63-5.

[27] Colpe, TDNT VIII, hal.464. Bandingkan dengan Mazmur 8:6-8.

[28] Leivestad, ASTI 6, 1967-8, hal.88. Dalam kesaksian Stefanus, Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah beserta orang terkemuka.

[29] C. K. Barrett, ‘Stephen and the Son of Man, in W. Eltester, ed., Apophoreta, 1964, hal.32-8.

[30] C. F. D. Moule, ô From Defendant to Judge--and Delivererö , Studiorum Novi Testamenti Societas Bulletin 3, 1952, hal.46.

[31] Colpe, TDNT VIII, hal. 461-3; bdk E. Haenchen, The Acts of the Apostles, 1971, hal.292


Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005