Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

Kontinuitas versus Diskontinuitas Doktrin Ahura Mazda

Kontinuitas versus Diskontinuitas Doktrin Ahura Mazda

Dalam Zoroastrianisme

Tinjauan Reflektif Terhadap Iman Kristiani

I. Pendahuluan

Makalah ini adalah pengembangan dari presentasi penulis bersama kelompok 5.[1] Penulis memberi judul Doktrin Tuhan dalam ajaran Zoroastrianisme. Zoroastrianisme adalah salah satu ajaran yang masih berkembang sampai zaman kini. Menurut laporan B.A. Robinson dalam survei Ontario Consultants on Religious Tolerance pada tahun 1991 bahwa terdapat pengikut ajaran Zoroastrianisme di Kanada sejumlah 3190 orang, dan menurut survei jurnal Fezana bahwa di Amerika serikat sekitar 11000 orang, di Kanada 6000, di Inggris 5000, di Australia 2700 dan di Negara-negara teluk Persia sekitar 2200. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan sekitar 200000 pengikut Zoroastrianisme di dunia saat kini. Lebih lanjut dijelaskan ajaran ini berkembang disebabkan oleh dasar pengajaran Zoroaster tentang teologi monoteistik Allah dan bersifat dualisme yakni mengakui roh jahat, jiwa, surga dan neraka, kelahiran Juruselamat, kebangkitan, dan penghakiman eskatologis.[2]

Dengan demikian agama yang merupakan sistem dalam mengatur tata keagamaan dan peribadatan kepada Tuhan serta kaidah yang berhubungan dengan ciptaan-Nya baik manusia maupun lingkungan akan menjadi acuan dalam penulisan makalah ini.

II. Pembahasan

2.1 Zoroasterianisme

Zoroastrianisme adalah ajaran yang sangat kuno dalam masyarakat Persia (sekarang negara Iran). Ajaran ini disebut juga sebagai agama nasional Irak selama berabad-abad sebelum disingkirkan agama Islam pada abad ke-7.[3]

Zoroastrianisme memiliki ajaran dasar tentang hati nurani yang baik yang dibawa oleh nabi Zoroaster. Menurut Kaufmann Kohler A. V. W. Jackson bahwa Zoroastrianisme adalah satu kepercayaan kuno yang memiliki kesamaan dengan ajaran Yahudi dan Kekristenan. Sesuai dengan pengadopsian nama Zoroaster dari Zoroastres dalam bahasa Yahudi dan Latin. [4]

Zoroastrianisme mulai diakui sebagai salah satu agama pada kerajaan Persia pada kekaisaran Raja Vishtaspa dan Cyrus Agung pada abad ke-16 SM.[5] Kemudian setelah dua abad kematian Zoroaster, agama tersebut diterima oleh Raja-raja Persia dan berkembang menjadi agama yang memiliki pengikut yang besar. Jean Kellens mengacu pada teks Avesta mengatakan bahwa salah satunya adalah Raja Siculus yang mendukung zoroaster pada tahun 60 SM.[6] Akan tetapi perkembangan tersebut mengalami kemunduran setelah kemenangan Alessander Agung atas kekaisaran Persia pada akhir pertengahan abad ke-4 SM. Kemudian pada dinasti Sassanid, agama Zoroastrianisme menjadi agama resmi di negara Persia kuno, ketika pengaruh Hellenistis jatuh pada tahun 226 - 651 M. Menurut Mary Boyce pengajaran Zoroastrianisme kemudian disesuaikan dengan tradisi imam leluhur keluarga Spitaman dan hidup Zoroaster dan dituliskan oleh Gathas dan Vedas dalam Avesta.[7]

Teologi Zoroastrianisme merupakan percampuran antara monotheisime yang percaya pada satu Tuhan, tetapi bersifat dualisme yakni percaya pada roh yang jahat.[8] Zoroastrianisme percaya pada satu Tuhan yang kekal yang disebut Ahura Mazda atau Ormuzd. Ahura Mazda adalah Tuhan yang bijaksana yang mengajarkan kejujuran dan kebenaran. Sementara roh yang jahat yang disebut Angra Mainyu atau Ahriman yang mengajarkan kejahatan dan kepalsuan. Perbedaan tersebut ingin mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan jalan hidupnya.

Walaupun demikian Zoroastrian percaya bahwa keberadaan Ahura Mazda yang disebut Tuhan yang bijaksana selalu menuntun umatnya kepada jalan kebenaran dan kejujuran. Ini bentuk penyelamatan dan kekuatan Ahura Mazda sebagai Tuhan. Dengan demikian Teologi Zoroastrianisme menyakinkan umatnya bahwa adanya hidup sesudah mati. Di mana manusia akan mengalami penghakiman pada masa akhir zaman.

Teologi Zoroastrianisme berhubungan erat dengan etika dan akhir zaman. Etika umat dibagi dalam tiga cara hidup yang baik yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik, dan perbuatan yang baik. Sementara akhir zaman adalah masa di mana umat mempertanggungjawabkan tingkahlaku dan imannya kepada Tuhan dalam Sraoha (kepatuhan), rashnu (keadilan), dan Mithra (kebenaran).

Oleh karena itu keselamatan akan diperoleh bila umat lebih banyak melakukan perbuatan baik dan bila umat tidak dapat menyeimbangkan perbuatannya maka ia melanjutkan penghakiman terakhir yang disebut Hamestaken.[9]

Dengan kata lain ajaran etika dan akhir zaman menjadi bentuk praktis dari kepercayaan Zoroastrian. Hidup penganut Zoroatrian harus dapat memilih hidup jujur dan berada di jalan yang benar, walaupun juga terdapat roh jahat seperti asketisme dan perzinahan. Selain itu Zoroastrian juga harus dapat melaksanakan pelbagai ibadah keagamaan yang dipusatkan pada pemujaan api suci yang terdapat dalam kuil Zoroaster.

2.2 Tuhan dalam Zoroasterianisme

Ahura Mazda adalah permulaan dan akhir pencipta dari segala sesuatu yang dapat dan tidak bisa dilihat dan bersifat kekal, murni dan satu-satunya kebenaran. Hal ini dengan jelas ditulis dalam Gathas, teks-teks suci Zoroastrianisme bahwa tidak ada Tuhan selain Ahura Mazda. Demikian juga dalam kitab Hukum Taurat yang disebut Daena atau rid dalam bahasa Iran dengan jelas ditulis bahwa setiap umat manusia memiliki Mathra-Spenta (perkataan Kudus). Dengan kata lain Daena adalah ajaran dan hukum yang tidak tertulis, di mana setiap umat manusia memiliki kewajiban dalam perintah sosial atau perilaku benar. Dean adalah kiasan jalan yang diwakili Zoroaster.[10]

Zoroastrianisme mengajarkan bahwa Ahura Mazda menginginkan umatnya untuk memiliki spiritualitas yang baik seperti memiliki kesadaran diri dan kesempurnaan sebagai ciptaannya yang baik. Akan tetapi keinginan tersebut disesuaikan dengan kebebasan umat untuk memilih kebebasan dari ketakutan, rasa bersalah, dosa, kelemahan, praktek magis, dan iman yang palsu.

Allah menurut Zoroastrianisme adalah Allah yang bijaksana yang tidak memaksa kehendak pada umatnya. Allah yang tidak mempedulikan hal-hal yang sementara seperti harta, kekayaan dan makan yang dimiliki seseorang ataupun cara umat menyembah. Tetapi Allah dalam ajaran Zoroastrianisme memperdulikan umat untuk memiliki sifat saleh, baik dan sifat yang progresif dalam beribadah bukan hanya ritual keagamaan tetapi juga praksis dalam bermasyarakat.

Dengan demikian Allah dalam Zoroastrianisme dipahami sebagai Allah yang mencintai hikmat dan logika; Allah tidak membeda-bedakan suku bangsa, jenis kelamin, ras ataupun kelas; Allah memperlakukan manusia sebagaimana martabat manusia; Hubungan Allah dan manusia bukan hubungan seorang tuan dan budak; Allah adalah sahabat dan rekan kerja; Allah tidak pencemburu, pemurka, dan pendendam; Allah tidak memiliki musuh; Allah menciptakan manusia untuk berkembang kepada persamaan dan bermitra dengan Tuhan untuk menghapus dosa dunia.

Dengan kata lain Azhura Mazda mengiginkan umat manusia sebagai rekan kerja dalam memelihara, mengembangkan dan menyegarkan kehidupan dunia secara bersama-sama. Semua itu adalah bentuk perbuatan baik dan usaha menghindari perbuatan jahat karena Zoroastrianisme adalah agama etis yang mengajarkan bahwa hidup dan mati untuk mencapai tujuan baik dalam pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik. Seperti mazdayasna yang berarti penyembahan orang bijak.

Dalam hemat penulis umat manusia diajarkan memahami persamaan dalam kebenaran antara objek yang dapat mati. Oleh karena itu manusia akan melihat ada persamaan ras, bangsa, jenis kelamin dan kedudukan sosial sebagai tanggungjawab hidup di dunia kepada Azhura Mazda.

Sementara itu Zoroastrianisme mengajarkan bahwa Azhura Mazda memilih umat melalui pikiran yang baik termasuk hati yang baik dan berpengetahuan luas agar mampu membuat pilihan dan kesalehan dengan tepat. Seperti yang dikatakan Aryan guru kebenaran:

"Listen to the best things with your ears, reflect upon them with an unbiased mind. Then let each man and women for him or her self choose between the two ways thinking. Awaken to my doctrine, before this great event of choice comes upon you."[11]

Menurut Diane Morga yang memahami salah satu tugas dari roh yang bukan Tuhan dan juga tidak tepat dikatakan makhluk, tetapi dari Azhura Mazda yakni Vohu Mada, roh yang memiliki jiwa berbudi dan mati di surga. [12] Roh dalam pikiran yang baik atau penglihatan yang baik menghasilkan berkat dari Azhura Mazda. Mary Boyce mengatakan hanya dengan keseimbangan pikiran, perkataan dan perbuatan.[13] Dengan demikian, sentral ajaran Zoroastrianisme adalah penekanan keputusan moral untuk memilih antara tanggung jawab dan kewajiban dalam dunia yang dapat mati.

Dengan demikian melalui iman yang diwujudkan dalam kesimbangan pikiran, perkataan dan perbuatan, Azhura Mazda akan mengutus juruselamat Saoshyant untuk mengalahkan kejahatan dan mengajarkan kebenaran.[14]

III. Kontinuitas dan Diskontinuitas

Konsep Tuhan dalam ajaran Zoroastrianisme dan ajaran Kristiani memiliki hubungan kontinuitas dan diskontinuitas. Ajaran Zoroastrianisme maupun ajaran Kristiani dengan jelas merujuk pada Tuhan monoteistik. Dalam Zoroasterianisme, Tuhan disebut Azhura Mazda dan diwakilkan oleh nabi Zoroaster, sedangkan ajaran Kristiani pada Allah dan mengutus putra-Nya, Yesus sebagai jalan mutlak kepada Allah.

Konsep Allah yang memberikan kebebasan umat manusia untuk memilih jalan hidup juga terdapat dalam kedua agama tersebut. Penerapan kehendak bebas pada manusia dipertanggungjawabkan secara pribadi sebagai manusia yang memiliki akal dan pikiran.

Akan tetapi kedua agama tersebut juga memiliki diskontinuitas dalam doktrin keselamatan yakni pada ajaran Zoroastrianisme keselamatan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan dan Saoshyant sedangkan ajaran Kristiani keselamatan hanya oleh Yesus, anak Allah.

Dalam hubungan baik dengan Tuhan harus diaplikasikan terhadap kehidupan sosial dan bermasyarakat. Zoroastrianisme dan Kristiani dengan jelas menekankan hak tersebut. Manusia yang percaya kepada Tuhan seharusnya dipahami secara seimbang dalam kesadaran diri untuk melihat keadaan sekelilingnya. Dengan demikian etika yang diterapkan dalam Zoroastrianisme tentang pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik adalah usaha untuk menjembatani keberadaan Tuhan yang bijaksana. Sedangkan etika Kristen didasari pada kepercayaan pada Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Verkuyl mengatakan bahwa Allah adalah sejati dan Maha Esa. Etika Kristen melalui Yesus manusia dapat mengenal Allah sebagaimana Yesus dalam kedaulatan, kemuliaan, kekekalan, keesaan, kerohanian dan kehadiran-Nya yang omnipresent, keadilan, kesucian, kesucian, dan kebenaran di dalam kasih dan hikmat karena Allah adalah pencipta dunia dan manusia.[15]

Dengan demikian kontinuitas dan diskontinuitas doktrin Tuhan dalam kedua agama tersebut adalah sama-sama melihat Tuhan yang monoteistik, Tuhan yang bijaksana walaupun ajaran Zoroastrianisme juga mengakui roh jahat yang sejajar dengan Azhura Mazda, tidak berarti dapat dikatakan Zoroastrianisme bersifat dualisme ketuhanan. Demikian dengan kehendak bebas adalah bentuk ekspresi iman umat yang setia. Sementara diskontinuitas ajaran Zoroastrianisme dan Kristen terletak pada konsep keselamatan manusia.

Pandangan tersebut sesuai dengan kerangka berpikir Friedrich Nietzche bahwa hubungan moralitas dan kepercayaan adalah sesuatu yang menuntut kejujuran untuk mempertahankan diri bersih. Karena suatu kepercayaan atau agama harus dipahami seimbang dengan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian keberadaan Allah dalam doktrin tidak hanya sekedar pemahaman dan terbungkus rapi dalam doktrin. Supaya kita tidak lagi menjadi membunuh Allah.[16]

IV. Penutup dan Refleksi

Menurut penulis doktrin Tuhan dalam Zoroastrianisme adalah hasil pergumulan nabi Zoroaster terhadap kekerasan yang berkembang di Persia dan berharap dapat menyadarkan manusia akan keberadaannya. Azhura Mazda, sang pencipta alam semesta adalah Tuhan yang bijaksana. Ia memberikan manusia kehendak bebas yang bertanggungjawab sebagai bagian dari etika dan berhubungan dengan penghakiman eskatologis. Dengan demikian keberadaan Azhura Mazda dengan kemahakuasaan dan kesucian hadir dalam setiap manusia sebagai bentuk hubungan baik. Keselamatan manusia tetap dipertahankan bila manusia berbuat baik pada dirinya maupun sesamanya. Walaupun roh jahat selalu ingin mengagalkan realitas akal budi manusia pengikut Zoroastrianisme percaya akan pertolongan Azhura Mazda. Azhura Mazda akan mengutus juruselamat Saoshyant untuk mengalahkan kejahatan dan mengajarkan kebenaran.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005