Galeri yang Hilang

Galeri yang Hilang

Monday 27 December 2010

Mengalas Kain Putih

Mengalas Kain Putih

Tinjauan Reflektif Ritus Malam Pertama Dalam Masyarakat Gorontalo


Abstraksi

Pengenalan laki-laki dan perempuan adalah awal dari keindahan hubungan seks. Kehidupan seksualitas tidak hanya dibuktikan pada saat malam pertama tetapi dalam kesediaan keduanya untuk dapat saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Dalam hemat penulis disebut realitas hubungan kasih sayang untuk mengakui keberadaan satu dengan yang lain. Kasih sayang dapat dibuktikan dengan kasadaran untuk mempertahankan kesucian, keperawanan sebelum akhirnya bersatu dalam pernikahan. Ini adalah ritus kehidupan di mana manusia mempersiapkan diri untuk masuk dalam siklus kehidupan berikutnya yakni berkeluarga. Kesucian menjadi dasar kepercayaan keduanya. Demikian pemahaman masyarakat Gorontalo yang menyebutnya mengalaskan kain putih dalam ritus malam pertama.

Kata kunci: ritus, cinta, kasih, perawan, darah, suci, dan kain.



I. Pendahuluan

Peristiwa yang terencana dan berulang-ulang serta dapat dimaknai disebut ritus kehidupan. Ritus kehidupan memiliki peran dalam menentukan cara pandang untuk memahami sesuatu peristiwa baik secara pribadi maupun komunal. Maka peristiwa tersebut akan selalu memiliki makna bagi dirinya sendiri maupun dalam masyarakat. Menurut Rasid Rachman, Ritus adalah tindakan sakral manusia (umat), baik personal maupun komunal, dalam berhubungan, dalam keyakinan pelaku ritual dan dengan yang Ilahi. Dengan demikian ritus merupakan fenomena religius universal umat manusia sejak dahulu kala.[1]

Ritus pernikahan misalnya. Ritus yang meresmikan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan baik oleh pemerintah supaya diterima dalam suatu masyarakat sebagai suami dan istri. Menurut Browning dalam kamus Alkitab, pernikahan adalah salah satu adat yang dikembangkan sejak berabad-abad dan bersifat legal dan sosial.[2]

Dalam ritus pernikahan bukan hanya upacara formal tetapi juga memiliki makna yang dalam yakni manusia tersebut berkembang ke dalam suatu komunitas baru. Dengan kata lain siklus kehidupan manusia telah bergeser kepada satu tahap hidup yang baru dan menghasilkan keluarga baru. Menurut tafsiran Gordon Lindsay terhadap Yohanes 2 bahwa Yesus merestui lembaga pernikahan dengan kehadiran-Nya karena pernikahan itu sesuatu yang suci.[3]

Pada suatu masyarakat ritus pernikahan memiliki hubungan yang erat dengan ritus malam pertama. Keduanya adalah serangkaian peristiwa dalam ritus pernikahan. Setelah peristiwa pertunangan (bahasa Gorontalo: Tolobalango),[4] penandatanganan surat akad nikah dan upacara adat pernikahan, kedua mempelai akan melalui ritus malam pertama. Kenneth Stevenson mengatakan bahwa ritus pernikahan dilakukan berdasarkan aturan masing-masing daerah. Seperti pemerintahan Romawi yang mengizinkan orang Yahudi (penduduknya) untuk menjalankan ritual berdasarkan daerah masing-masing dengan ketentuan telah membuat kesepakatan dengan pemerintah.[5]

Demikian dalam masyarakat Gorontalo[6] yang memiliki corak kebudayaan yang berbeda dari suka lain di Indonesia khususnya dalam memaknai ritus malam pertama. Masyarakat Gorontalo menyebutnya ritus mengalaskan kain putih pada kasur. Akan tetapi ritus ini sudah jarang dilaksanakan bahkan hampir tidak dapat dilihat pada zaman sekarang, walaupun demikian menurut hemat penulis bahwa ritus ini sangat penting sesuai dengan makna ritusnya yakni menjadi pembuktian bahwa mempelai perempuan masih perawan. Itu adalah awal pembuktian bahwa pernikahan itu suci.

II. Latar Belakang Ritus Malam Pertama

Ritus malam pertama adalah ritus yang dilakukan dan dilalui oleh pengantin baru setelah upacara pernikahan. Ritus ini didasarkan atas hubungan cinta suami istri, maka malam pertama adalah suatu peritiswa suci yang selalu menjadi awal peristiwa setelah upacara pernikahan.

Bagi masyarakat Gorontalo, ritus pernikahan termasuk malam pertama disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Dalam agama Islam, malam pertama adalah aktivitas ibadah yang baik dan suci. Dengan demikian ritus malam pertama adalah kewajiban mempelai pengantin untuk saling mengasihi sesuai dengan hukum Islam.[7]

Hukum Islam tersebut disesuaikan dengan perkataan Rasul Muhammad dan yang tertulis dalam Al-Quran. Melalui ritus malam pertama, mempelai pengantin diharapkan memperoleh berkat.[8]

III. Ritus Malam Pertama dalam masyarakat Gorontalo[9]

Malam pertama adalah peristiwa penting yang terjadi pada malam pertama setelah upacara pernikahan berjalan. Pada peristiwa ini mempelai pengantin sering merasa bingung, gugup dan takut untuk melakukan ritus malam pertama. Terlebih bagi mereka yang memang belum pernah melakukan hubungan sebelumnya. Pertanyaan yang sering muncul apakah aku akan bisa melakukan tugasku sebagai suami? atau apakah aku akan merasa kesakitan? bahkan apakah istriku masih perawan? dan pertanyaan lainnya.

Dalam masyarakat Gorontalo, ritus malam pertama dimulai sejak awal prosesi pernikahan adat yang mengandung makna yang dalam dan diakhiri acara malam pertama kedua mempelai. Ritus yang memadukan dua ciptaan Tuhan yang segambar dengan rupa-Nya, dalam sebuah ikatan suci yang akan menghalalkan hubungan seksual dari apa yang sebelumnya haram untuk dilakukan yakni adat mengalaskan kain putih pada kasur.

Dalam ritus kehidupan terdapat hubungan yang erat dengan liturgi yakni tata letak dan tata gerak. Rasid Rachman mengkategorikan dalam simbolisme, konsekrasi,
repetisi dan pengenangan.[10]

Ritus malam pertama dimulai orang tua dari mempelai perempuan memilih seorang perempuan yang cukup tua sebagai saksi malam pertama. Perempuan tersebut ditempatkan tanpa sepengetahuan kedua mempelai di bawah tempat tidur mempelai selama prosesi malam pertama berlangsung.

Peran perempuan tua adalah sebagai saksi malam pertama apabila mempelai laki-laki melakukan kekerasan atau mengkasari istrinya; saksi apabila mempelai perempuan tidak melayani hak suaminya; serta bertindak sebagai penengah jika kedua mempelai justru tidak bercinta, namun berkelahi.

Setelah upacara pernikahan selesai kedua mempelai telah dinyatakan sah sebagai suami istri dan kemudian dipersilahkan masuk ke dalam kamar pengantin. Lalu mempelai laki-laki mengalaskan kain putih di atas tempat tidur di mana mempelai perempuan akan terbaring di atasnya. Selain itu disekeliling bagian luar kamar ditempatkan utusan dari mempelai laki-laki untuk berjaga selama ritus tersebut berlangsung dan kedua mempelai diberikan waktu bercinta sampai hari berikutnya.

Kemudian pada pagi hari mempelai laki-laki mendatangi mertuanya dengan sikap sungkem dan memperlihatkan kain putih pengalas. Tata gerak ini sebagai pertanda mempelai laki-laki adalah laki-laki pertama yang mendapat kesucian dari putri mereka. Gerak ini membawa kebanggaan dan kehormatan bagi orang tua bahkan keluarga besar pihak perempuan bahwa anaknya masih perawan. Kain putih dan tempat tidur dapat disebut sebagai simbol dan darah merah pada kain putih sebagai tanda dalam ritus malam pertama.

Selanjutnya perempuan tua yang ditempatkan di bawah tempat tidur akan melaporkan kepada orang tua mempelai perempuan tentang apa yang terjadi selama proses malam pertama. Jika baik, maka diharapkan pernikahan keduanya akan langgeng, sedangkan jika terjadi hal yang tidak baik maka perempuan tersebut akan memberikan sejenis rekomendasi agar kedua mempelai tidak bersatu lagi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ritus malam pertama memiliki makna penting. Ritus adat mengalaskan kain putih di bawah tubuh mempelai perempuan pada saat malam pertama adalah pembuktian kepada mempelai laki-laki bahwa istirinya benar masih perawan.

IV. Analisa

Ritus malam pertama dalam masyarakat Gorontalo adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa mempelai perempuan masih perawan. Berdasarkan makna ritus di atas dapat dipahami bahwa terdapat diskriminasi perempuan. Menurut penulis bahwa keluarga dari mempelai laki-laki telah mengesampingkan hak dan keberadaan mempelai perempuan dan laki-laki sebagai manusia yang sepadan dan sederajat kedudukannya. Walaupun di sisi lain dapat dipahami bahwa mempelai perempuan telah bertanggungjawab menjaga diri dan terlebih peran serta dan tanggungjawab orang tua perempuan dalam perkembangan fisik dan mental putri mereka. Dalam hemat penulis ritus malam pertama adalah sesuatu peristiwa penting akan tetapi harus diperbaharui maknanya sebagai aspek pendidikan dan budaya yakni suatu kejujuran dari laki-laki dan perempuan sebelum pernikahan berlangsung. Seperti yang dilakukan oleh gereja ketika konseling pra-pernikahan. Dengan demikian ritus malam pertama yang telah terkikis oleh perkembangan zaman dapat terus diperbaharui maknanya tanpa mengubah makan utama dari ritus dan diberlakukan terus menerus sesuai dengan aspek budaya daerahnya.

Maka pergeseran makna terhadap ritus malam pertama dari masa ke masa tidak akan mengurangi nilai dari sebuah ritus. Karena tata letak dan gerak dalam ritus ini penting khususnya untuk menjaga kekayaan dan lestarian suatu adat masyarakat yang memiliki makna sejarah.

Dasar pemahaman penulis bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan sesuai kerangka berpikir teologi Kidung Agung yang menekankan hubungan cinta yang luhur pada ciptaan Allah yang dianugerahkan pada manusia dalam peran dan keberadaan laki-laki dan perempuan yang sederajat.[11] Keindahan dalam perbedaan bentuk fisik dan mental bahkan peran dari laki-laki dan perempuan. Dengan demikian faktor keperawanan seseorang yang mengacu pada selaput dara perempuan dapat dijelaskan dengan ilmu kedokteran sehingga perceraian tidak dapat direkomendasikan oleh saksi perempuan tua. Karena salah satu tanda mempelai perempuan masih perawan bukan hanya dikarenakan melakukan hubungan seks akan tetapi pernah mengalami kecelakaan, dll.

Dalam hemat penulis pembaharuan makna dalam ritus malam pertama tetap mempertahankan makna sejarah dalam tata gerak dan tata letak demikian juga makna kesucian dan cara pandang kedudukan laki-laki dan perempuan. Misalnya laki-laki harus dituntut untuk menjaga kesucian atau keperawanan walaupun bukan dalam arti medis tetapi konseling pra-pernikahan yang diadakan oleh gereja.

Dengan demikian ritus ini harus tetap dilaksanakan sebagai ritus yang mengajarkan bagaimana keperawanan adalah sesuatu yang suci dan harus dipertahankan serta dijaga dengan sebaik-baiknya sebelum ritus malam pertama dimasuki.

V. Refleksi Teologis

Ritus malam pertama adalah siklus peralihan kehidupan manusia setelah upacara pernikahan dengan melepas masa lajang. Siklus ini merupakan peristiwa khusus dalam kehidupan keluarga Kristen sebagai awal membuahi rahami perempuan untuk mengusahakan keturunan atau anggota keluarga baru.

Melalui pernikahan dasar kehidupan keluarga Kristen dikuduskan[12] dan malam pertama menjadi bukti awal dari kekudusan hubungan seks yang sah. Hubungan cinta adalah salah satu bentuk pemenuhan kewajiban antara dua orang yang saling mengasihi dalam pernikahan.

Dengan demikian jelas bahwa hubungan kekudusan hidup dan hubungan seks setelah pernikahan adalah salah satu bentuk inisiasi seksual. Gereja seharusnya memperhatian dan memberikan konseling pra-pernikahan dengan serius. Sehingga harmoni kehidupan yang akan dibangun dalam keluarga baru dapat menghasilkan keseimbangan yang menyenangkan baik dalam segi alam perasaan, alam pikiran dan perbuatan individu, dan tidak dapat menekan terjadi ketegangan yang berlebihan.[13]



[1] Diunduh dari http://rasidrachman-kuliahliturgi.blogspot.com/2010_01_01_archive.html, hari sabtu, 8 mei 2010, pukul 12.00 WIB

[2] W.R.F. Browing, Kamus Alkitab (terj) A Dictionary of the Bible, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hal.352.

[3] Gordon Lindsay, Pernikahan, perceraian dan perkawinan ulang, (Jakarta: Imanuel, 1993), hal.10-11.

[4] Tolobalango adalah pertunangan secara resmi yang dihadiri oleh tokoh adat daerah dan keluarga melalui juru bicara pihak keluarga laki-laki (Lundthu Dulango Layio) dan juru bicara utusan keluarga perempuan (Lundthu Dulango Walato). Tujuan acara ini adalah penyampaian maksud peminangan yang disampaikan melalui pantun-pantun yang indah. Dalam pertunangan ini tidak menyebutkan biaya pernikahan (Tonelo) oleh pihak utusan keluarga calon pengantin laki-laki, akan tetapi yang terpenting mengungkapkan Mahar (Maharu) dan penyampaian acara yang akan dilaksanakan selanjutnya. Diunduh dari http://www.wahana-budaya-indonesia.com/index.php? option=com_content&view= article&id=1041%3Apernikahan-adat-gorontalo&catid=135%3Aadat-istiadat-budaya&Itemid=62&lang=id hari jumat, 7 mei 2010, pukul 17.00 WIB.

[5] Kenneth Stevenson, The first rites: worship in the early church, (Collegeville: The Liturgical Press, 1989), hal.82-83. Kesepakatan dengan pemerintah dalam bentuk tidak melanggar hukum Negara yakni bersifat asusila dan berdasarkan kesepakatan kedua keluarga mempelai.

[6] Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 di Indonesia tepatnya Sulawesi Utara. Provinsi yang dibentuk pada tanggal 22 Desember 2000 berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Diunduh dari http://id. wikipedia.org/wiki/Gorontalo, hari jumat, 7 mei 2010, pukul 14.00 WIB. Gorontalo merupakan salah satu provinsi di wilayah Republik Indonesia yang memanjang dari Timur ke Barat di Bagian Utara Pulau Sulawesi. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi kemudian di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah, serta Teluk Tomini di sebelah selatan. Penduduk Gorontalo hampir seluruhnya memeluk agama Islam. Adat istiadatnya sangat dipengaruhi ajaran dan kaidah Islam. Dengan kata lain pengaruh Islam menjadi hukum tidak tertulis di Gorontalo yang turut mengatur segala kehidupan masyarakatnya dengan ajaran yang bersendikan Islam. Termasuk adat pernikahan di Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut upacara adat yang sesuai tahapan Lenggota Lo Nikah. Diunduh dari http://id.shvoong.com/social-sciences/1747462-pernikahan-adat-gorontalo/, hari jumat, 7 mei 2010, pukul 15.00 WIB.

[7] Diunduh dari http://www.wahana-budaya-indonesia.com/index.php? option=com_content&view= article&id=1041%3Apernikahan-adat-gorontalo&catid=135%3Aadat-istiadat-budaya&Itemid=62&lang=id hari jumat, 7 mei 2010, pukul 19.00 WIB.

[8] Diunduh dari http://thoyb-akhirzaman.blogspot.com/2009/04/malam-pertama-adab-bersenggama.html, hari jumat, 7 mei 2010, pukul 17.00 WIB.

[9] Diunduh dari http://hulondhalo.com/2010/03/tradisi-malam-pertama-tempo-dulu/, hari jumat, 7 mei 2010, pukul 14.00 WIB.

[10] Simbilisme perangkat dan tata gerak manusia menyimbolkan aktivitas dengan Yang Ilahi, baik historis maupun maknawi; Konsekrasi benda atau materi natural menghantar umat kepada sisi supranatural, kepada makna, pesan, dan gambaran di balik benda-benda; Repetisi peristiwa historis (semula, awal) diulangi dan dihadirkan kembali saat ini. Pengulangan tersebut meliputi pengulangan waktu, tata cara, tempat, pemeran, dsb; dan pengenangan peristiwa, setelah diulangi secara khusus menurut makna simbolisnya, sehingga orang yang mendengar terlibat secara aktif masuk dan menjadi bagian dari peristiwa yang dikenangkan tersebut. Diunduh dari http://rasidrachman-kuliahliturgi.blogspot.com/2010_01_01_archive.html, hari sabtu, 8 mei 2010, pukul 12.00 WIB

[11] Edward J Young, Inroduction to the Old Testament, (Michigan: W.M.B Eerdmans, 1952), hal.327.

[12] Martasudjita, Pengantar Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal.169.

[13] Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1979), hal.398.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.

Fritz n' Erwin

Fritz n' Erwin
Senat 2004/2005